Kembali

Stop Perampasan Ruang Hidup

       Pada tulisan ini, kami akan merefleksikan dan menanggapi perampasan ruang hidup yang sering diabaikan. Dalih pembangunan, penataan, dan pertumbuhan kesejahteraan tak sedikit digunakan sebagai alasan dalam mengambil, merebut, merampas, dan menjajahi lahan yang mereka inginkan. Mereka tidak hanya berupa beberapa oknum, namun lebih besar daripada itu. Pengambilan ruang hidup telah difasilitasi dengan basis ukuran kemajuan suatu negara. Diperkuat melalui kebijakan dan membungkam siapa saja yang melawan.

Perampasan Ruang Hidup Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (2004 - Sekarang)

       Awal mula rencana pembangunan Rempang Eco City pada tahun 2004, adanya investasi sebesar Rp 318 Triliun oleh PT MEG Group Artha Graha. Tommy Winata selaku pemilik PT MEG menekan kontrak kerja sama dengan Pemerintah Kota Batam terkait pengembangan kawasan Pulau Rempang. Meskipun tujuan program pembangunan tersebut adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura, namun hal ini malah berakhir dengan bentrokan karena ketidakpastian hukum terkait kepemilikan tanah. Masyarakat meyakini bahwa tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan, sementara pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan membuat tanah dianggap bukan lagi milik masyarakat. Konflik yang terjadi di Pulau Rempang meliputi isu hak tanah, HAM, dan kepentingan investasi pemerintah.

       Proyek strategis nasional, Rempang Eco City sebagai dalih untuk kepentingan publik, dengan syarat masyarakat adat harus meninggalkan daerah tersebut melalui perjanjian sertifikat tanah. Hingga saat ini, perjanjian tersebut tidak terealisasi. Hal ini menjadi poin yang kontroversial karena dianggap tidak adil dan merugikan hak asasi manusia masyarakat adat di Pulau Rempang. Masyarakat Rempang kini dihadapkan dengan ketidakpastian sejak kabar pengembangan kawasan Rempang menjadi Rempang Eco-City, lantas dimana peran negara yang menjadi pembela bagi masyarakat tertindas? Alih-alih membela masyarakat tertindas, negara justru sebagai pendukung bagi investor asing dan para aktor elite. Perhatian rakyat Indonesia saat ini sedang tertuju pada konflik agraria yang terjadi di Rempang, di mana warga setempat menolak direlokasi demi pembangunan Rempang Eco-City. Masyarakat Rempang telah mengetahui adanya rencana proyek ini sejak tahun 2007.

       PT MEG mendapatkan hak pengelolaan dan pengembangan kawasan tersebut selama 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun. Kemudian kasus baru-baru ini pada Juli 2023, Pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk pembangunan pabrik kaca dan solar panel di pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City dengan nilai proyek sebesar 11,5 miliar USD atau sekitar Rp 184,4 triliun. Proyek dengan investasi sebesar Rp 318 triliun dan masuk ke dalam Program Strategis Nasional ini akan menggusur 16 kampung tua yang berada di lingkungan proyek. Padahal, warga setempat telah tinggal secara turun-temurun di lokasi tersebut. Masyarakat adat di pulau rempang menyatakan sikap dalam bentuk aksi demonstrasi sebagai penolakan atas perencanaan rempang Eco City. Bukannya mendapatkan respon yang positif, masyarakat adat di pulau rempang justru berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan yang represif.

Perampasan Ruang Hidup demi Kepentingan Akumulasi Kapital

       Segala perampasan ruang hidup yang telah dipaparkan sebelumnya, adalah perwujudan kapitalisme melalui konsep-konsepnya. Mirisnya, negara selalu mengambil peran dalam perampasan ruang hidup yakni pelegitimasian melalui kebijakan maupun regulasi yang dibuat. Kebijakan maupun regulasi tersebut dibuat berdasarkan tidak lain untuk membuka ruang bagi kelas tertentu, kelas kapitalis, demi melanggengkan akumulasi kapital. Ruangruang yang dirampas oleh kelas kapitalis dijadikan sebagai alat produksi untuk menciptakan komoditas sebagai titik awal sirkulasi uang terjadi. Tanpa komoditas, uang tidak lagi memiliki arti. Karena, melalui peningkatan permintaan komoditas dapat menentukan ‘nilai’ uang sebagai alat tukarnya. Oleh karena itu, ruang-ruang yang dirampas ataupun diklaim seringkali dijadikan sebagai akumulasi komoditi dan uang untuk mendorong aktivitas ekonomi yang tidak terkendali. Dampaknya, kawasan yang dulunya merupakan kawasan hutan, lahan pertanian, pemukiman warga, dan sebagainya; demi pemenuhan kebutuhan hidup diubah menjadi kawasan akumulasi keuntungan bagi segelintir orang.

       Selain itu, negara melalui regulasi sebagai produk politiknya, tidak sedikit menciptakan ruang konflik dan kekerasan. Semua itu merupakan ekspresi dari situasi kekuasaan politik dan kontestasi yang ada. Kontestasi antara masyarakat dengan para investor yang kepentingannya direpresentasikan dan dikelola oleh negara. Karena kekuatan masyarakat masih lemah, maka mereka hanya bisa memenangkan konsesi-konsesi yang sangat terbatas. Sementara itu, para pemodal yang jauh lebih kuat karena mempunyai modal dan memegang kekuasaan politik, memiliki ruang gerak yang lebih besar untuk mengartikulasikan kepentingannya, bahkan bisa melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang pro-rakyat tanpa konsekuensi yang serius. Klaim negara, investasi mampu membuka lapangan kerja, meningkatkan perekonomian yang hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat untuk kesejahteraan. Praktik negara dengan aneka aturannya adalah praktik kapitalisme, semakin menegaskan perampasan ruang hidup di beberapa wilayah Indonesia