Kembali

Si Anak Kuat

Buku ini merupakan buku pertama dari serial anak nusantara yang dicover ulang dari buku cetakan pertama yang juga berjudul ‘Si Anak Kuat’. Membaca buku yang bisa dikatakan lumayan tebal ini tidak memberikan sedikitpun kebosanan bagi saya. Terharu dan terhibur dibarengi dengan penambahan pengetahuan yang berharga dari karakterkarakter hebat yang ada dalam buku ini saya dapatkan sekaligus. Buku ini bercerita tentang anak bernama Amelia atau Amel, sibungsu dari pasangan Bapak Syahdan dan Mamak Nurmas. Amelia merupakan adik dari 3 orang kakaknya, yaitu; Eliana (Si Anak Pemberani), Pukat (Si Anak Pintar), dan Burlian (Si Anak Spesial) Meskipun semua orang memanggilnya Amel, ia justru ingin dipanggil dengan sebutan Eli, ya, seperti kakak sulungnya. Dia benci menjadi anak bungsu yang tidak bisa mengatur siapapun, mendapat baju lungsuran, ditambah lagi dengan adanya tradisi dari kampong tempat tinggalnya dimana anak bungsu adalah sang penunggu rumah. Amel ingin menjadi anak pertama dalam keluarganya seperti kakaknya Eliana. Menurut Amel, Eli sang kakak adalah orang yang sangat cerewet, suka mengatur, dan sewenang-wenang terhadapnya. Akan tetapi, melalui sebuah peristiwa, ia dapat melihat bahwa diantara semua kakaknya, Eli lah kakak yang paling sayang dan paling perhatian terhadap Amel, yang selalu siap melindunginya dalam keadaan apapun. Di sekolah Amel mempunyai berteman dengan empat orang anak yang samasama bungsu seperti dirinya. Merke kemudian membuat sebuah geng bernama geng ‘Anak Bungsu’ yang terdiri dari Amelia, Maya, Norris, dan Tambusai. Pada Awalnya, Norris adalah anak yang paling dihindari di sekolah, tidak ada yang ingin berteman dengan Norris karena sifat nakal yang ia miliki. Kemudian Amel diberi tugas oleh pak Bin, gurunya, untuk menjalin pertemanan dengan Norris. Tentunya tidak mudah menaklukkan anak keras kepala seperti Norris, hingga sebuah rahasia besar yang disimpan oleh ayah Norris terungkap, Norris kemudia berubah menjadi pribadi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kampung yang ditempati oleh Amel untuk tinggal merupakan kampung yang warganya hidup dari hasil panen perkebunan karet dan kopi. Akan tetapi, warga-warga yang ada masih menggunakan bibit seadanya. Melihat itu, Amel mencetuskan ide saat pertemuan tetua kampung di rumahnya, Amel mengusulkan ide untuk mengubah bibit kopi yang selama ini digunakan menjadi bibit unggul yang akan menghasilkan panen berlipat ganda. Ide ini ia dapatkan saat berkelana ke dalam hutan bersama pamannya, Unus. Di dalam hutan, Amel melihat pohon kopi yang lebat dengan buah yang sangat berkualitas, sangat berbeda dengan yang ditanam oleh warga kampung. Amel mengusulkan untuk menggunakan pohon itu untuk menjadi bibitnya, ia dan temantemannya akan menyemai biji kopi untuk menghasilkan bibit yang dimaksud. Usul tersebut tentu mendapat banyak tantangan dari warga kampung karena pengetahuan yang masih kurang terhadap sistem pertanian, resiko yang harus ditangung dengan menebang dan menanami dengan pohon yang bar, serta terdapat juga tantangan dari mereka yang memiliki kepentingan politik perihal pak Syahdan sebagai kepala desa. Dengan tekad yang kuat, Amel bersama geng anak bungsu dan bantuan dari paman Unus melakukan penyemaian bibit kopi di belakang sekolah atas ijin pak Bin. disamping menyemai perkembangan bibit kopi, Amel dan geng Anak Bungsu, juga memiliki tugas tambahan yaitu berkeliling desa setiap hari untuk memberikan penjelasan tentang ide yang mereka miliki. Keputusan berakhir di pertemuan besar kampung. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan sepakat untuk mengganti bibit kopi yang lama dengan yang baru. Percobaan terlebih dahulu dilakukan di ladang yang di beli dengan uang kas desa. Semua berjalan lancar selama 6 bulan sampai harapan itu terhempas oleh banjir yang datang saat bibit sudah ditanam dan tumbuh di ladang percobaan dan tinggal menunggu hasilnya. Amel tentu saja kecewa, tetapi dia percaya bahwa semua petualangannya baru dimulai dari sini. Kisahnya berawal di sini. Atas izin dari orang tuanya, Amel si bungsu penunggu rumah berangkat ke luar dari kampung untuk menuntut ilmu dan meraih cita-citanya. Setelah dua puluh tahun menempuh impian dan memperoleh dua gelar doktor Pedegogi dan Kultur Jaringan di luar negeri, Amel kembali ke kampungya menjadi guru SD tanpa pernah memandang seperti guru kebanggannya, pak Bin. “Aku adalah Amelia Kampung ini adalah duniaku” ------- Novel ini sangat cocok untuk bacaan bagi keluarga, sangat inspiratif dan menyentuh. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kehidupan Amelia, si gadis yang selalu benci ketika dipanggil dengan julukan si penunggu rumah. Melalui berbagai macam rintangan, Amel akhirnya menyadari bahwa kampungnya adalah dunianya, dialah yang bisa melakukan perubahan besar terhadap dunianya tersebut. Amel akhirnya kembali setelah pergi berkelana mencari ilmu di negeri orang, kembali untuk menepati janjinya. Tidak seperti kebanyakan orang saat ini yang ketika sukses di negeri orang, mereka enggan untuk kembali ke kampung halaman, menyebabkan banyak desa tertinggal tanpa adanya perubahan. Dari novel ini kita juga bisa mengambil sisi positif dari budaya anak bungsu yang mungkin terdengar mengekang, tapi tentu saja harus ada setidaknya satu orang yang tinggal untuk melestarikan dan memberi perubahan yang baik bagi kampung halaman tercinta. Setting cerita dari novel ini mungkin mengingatkan pembaca akan masa kecil di kampung halaman. Cerita yang disajikan sederhana namun memiliki banyak pesan moral yang bisa didapatkan. Tentang kesabaran dan keteguhan yang ditunjukkan oleh para karakter yang ada. Terlebih banyak nasihat yang disisipkan Tere Liye dalam buku ini melalui karakter Nek Kiba, Pak Bin, dan Pak Syahdan.