Kembali

Isu Keakuntansian IMA FEB-UH Sustainability Accounting

Sejak awal kemunculan akuntansi, perusahaan-perusahaan berfokus pada perolehan laba sebesar-besarnya. Dalam usahanya memperoleh laba, Perusahaan sering kali mengabaikan aspek kemanusiaan sehingga membuat banyak masalah terkait eksploitasi sumber daya alam dan manusia demi menekan biaya untuk mencapai laba yang besar.

Konsep teori stakeholder menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat bertahan bukan hanya dari kinerja perusahaan dalam mencapai laba. Suatu perusaahan dapat bertahan juga karena didukung oleh lingkungan dan Masyarakat sekitar. Maka penting untuk mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan demi kelangsungan perusahaan.

Pada prinsipnya, akuntansi keberlanjutan atau sustainability accounting hadir untuk mengatasi masalah-masalah terkait dengan lingkungan dan Masyarakat. Namun pada prakteknya, akuntansi keberlanjutan ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak demi mencapai keuntungan atau laba yang bahkan lebih besar dari sebelumnya. Oleh karena itu penting untuk melihat sustainability accounting atau akuntansi keberlanjutan ini lebih lanjut dalam sudut pandang kritis.

 

Prinsip Akuntansi

Kata "akuntansi" dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris, yaitu "accounting". Sedangkan kata "accounting" sendiri berasal dari kata "account" yang dalam bahasa Prancis Kuno disebut "aconter", yang berarti 'menghitung atau mengukur'. Jadi, pada dasarnya, akuntansi berarti proses menghitung atau mengukur. Akuntansi diperkenalkan oleh Fra Luca Bartolomeo de Pacioli adalah matematikawan dan biarawan Fransiskan asal Italia. Mayoritas di seluruh dunia menggunakan akuntansi dalam melakukan kegiatan bisnis, hal itu membuat akuntansi disebut sebagai bahasa bisnis. Akuntansi adalah sistem informasi yang mengidentifikasi, mencatat dan mengomunikasikan kejadian ekonomi dari sebuah organisasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 

  • Input, Input dari proses mengidentifikasi adalah kejadian ekonomi yang menghasilkan transaksi. Kejadian ekonomi ini dapat berupa penjualan, pembelian, penerimaan kas, pengeluaran kas, dan lain-lain. Bukti transaksi yang dapat digunakan sebagai input antara lain faktur, kwitansi, nota, dan lain-lain.
  • Proses identifikasi, Proses mengidentifikasi adalah proses untuk menentukan apakah suatu kejadian ekonomi merupakan transaksi atau bukan. Proses ini dilakukan dengan cara mencatat, menggolongkan, meringkas, dan melaporkan transaksi tersebut. Proses mengidentifikasi merupakan proses yang penting dalam akuntansi. Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua transaksi ekonomi yang terjadi dicatat dan dilaporkan dengan benar. Hal ini penting agar informasi akuntansi yang dihasilkan dapat digunakan secara efektif untuk pengambilan keputusan.
  1. Mencatat, Proses mencatat adalah proses untuk mencatat data transaksi dalam dokumen atau sistem akuntansi. Data yang dicatat meliputi tanggal, pihak yang terlibat, jumlah transaksi, dan jenis transaksi.
  2. Menggolongkan, Proses menggolongkan adalah proses untuk mengelompokkan transaksi berdasarkan jenisnya. Jenis transaksi yang umum digolongkan antara lain penjualan, pembelian, penerimaan kas, pengeluaran kas, dan biaya.
  3. Merangkum, Proses meringkas adalah proses untuk merangkum data transaksi berdasarkan periode waktu tertentu. Periode waktu yang umum digunakan antara lain bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan.
  4. Melaporkan, Proses melaporkan adalah proses untuk menyajikan data transaksi dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan yang umum digunakan antara lain neraca, laba rugi, dan arus kas.
  • Output, Output dari proses mengidentifikasi adalah informasi akuntansi. Informasi akuntansi ini dapat digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak internal dan eksternal perusahaan. Laporan              keuangan adalah output utama dari proses akuntansi. Laporan keuangan menyajikan informasi keuangan suatu perusahaan dalam bentuk yang mudah dipahami oleh pihak internal dan eksternal                  perusahaan. Laporan keuangan yang umum digunakan antara lain:
  1. Laporan Posisi keuangan adalah laporan yang menggambarkan posisi keuangan perusahaan pada periode tertentu. Laporan Posisi Keuangan menyajikan aset, kewajiban, dan ekuitas perusahaan.
  2. Laporan laba rugi adalah laporan yang menunjukkan kinerja (hasil usaha) perusahaan selama periode waktu tertentu. Laporan laba rugi menyajikan pendapatan, biaya, dan laba atau rugi bersih perusahaan.
  3. Laporan arus kas adalah laporan yang menyajikan arus masuk dan arus keluar kas perusahaan selama periode waktu tertentu. Laporan arus kas menyajikan arus kas dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.
  • Pengambilan Keputusan, Informasi akuntansi yang dihasilkan dari proses mengidentifikasi dapat digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak internal dan eksternal perusahaan. Pihak internal perusahaan dapat menggunakan informasi akuntansi untuk menentukan strategi bisnis, mengoptimalkan biaya, dan meningkatkan profitabilitas. Pihak eksternal perusahaan, seperti investor dan kreditur, dapat menggunakan informasi akuntansi untuk menilai kinerja perusahaan dan mengambil keputusan investasi.Jadi, Proses Akuntansi adalah suatu proses yang berkelanjutan. Proses ini dimulai dari input, kemudian dilanjutkan dengan proses mengidentifikasi, output, dan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan akan menghasilkan output berupa rencana atau kebijakan baru. Rencana atau kebijakan baru ini kemudian akan menjadi input baru untuk proses akuntansi selanjutnya.

 

Prinsip Akuntansi Konvensional

Akuntansi konvensional adalah metode akuntansi yang mengikuti prinsip dan standar umum dalam praktik akuntansi. Metode ini melibatkan pencatatan, pengukuran, dan pelaporan transaksi keuangan suatu entitas dengan menggunakan prinsip-prinsip yang telah ada selama bertahun-tahun. Dalam akuntansi konvensional, informasi keuangan terorganisir secara sistematis untuk mencerminkan kondisi keuangan dan hasil operasional suatu perusahaan.

Prinsip-prinsip akuntansi konvensional, yang sering kali diakui secara luas dan diterima dalam praktik akuntansi, membentuk dasar untuk mencatat, mengukur, dan melaporkan informasi keuangan. Sebagai contoh, prinsip biaya historis, prinsip konsistensi, dan prinsip entitas adalah beberapa contoh prinsip akuntansi konvensional.

Tujuan dari penerapan ini adalah memberikan gambaran yang akurat dan transparan tentang kinerja finansial perusahaan. Akuntansi konvensional juga melibatkan penggunaan berbagai dokumen dan laporan keuangan, termasuk laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dengan demikian, dokumen-dokumen ini membantu dalam analisis keuangan serta memungkinkan pengambilan keputusan untuk kedepannya.

Perlu dicatat bahwa dengan berkembangnya waktu, beberapa prinsip akuntansi telah mengalami evolusi, dan standar akuntansi internasional seperti IFRS (International Financial Reporting Standards) juga memainkan peran dalam mengubah dan mengharmonisasi praktik akuntansi di tingkat global. Meskipun demikian, istilah "konvensional" masih digunakan untuk merujuk pada prinsip-prinsip yang telah lama diterima dan diterapkan dalam dunia akuntansi.

 

Kritik Terhadap Akuntansi Konvensional

Akuntansi konvensional adalah proses pencatatan sampai dengan pembuatan laporan yang cenderung menggunakan logika atau rasionalisme ekonomi yang meliputi prinsip-prinsip individualisme, kepentingan pribadi, dan maksimalisasi keuntungan. Akuntansi konvensional biasanya berisikan berbagai informasi yang terkait tentang peristiwa dan transaksi ekonomi, pengukuran sumber daya dalam hal aset dan kewajiban, dan metode untuk mengkomunikasikan seluruh informasi tersebut menggunakan laporan keuangan. Akuntansi konvensional telah dikritik karena keterbatasan dan kekurangannya:

  1.  
  • Kompleksitas proses pengambilan keputusan dalam bisnis saat ini hanya mengandalkan informasi akuntansi.  Sehingga, peran sumber informasi akuntansi menjadi sangat dominan—padahal penggunaan informasi tersebut perlu mempertimbangkan banyak faktor, seperti etika, tanggung jawab sosial, dan lain sebagainya—dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi.
  • Akuntansi konvensional didasarkan pada konvensi yang mencerminkan kepentingan pemangku kepentingan yang paling kuat, daripada memberikan pandangan yang komprehensif tentang kesehatan keuangan perusahaan.
  • Akuntansi konvensional tidak memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan dari kegiatan bisnis, seperti polusi dan penipisan sumber daya. Hal ini dapat menyebabkan pandangan yang terdistorsi tentang kinerja dan keberlanjutan perusahaan, serta kurangnya akuntabilitas untuk eksternalitas negatif.
  • Tidak memasukkan sumber daya alam dan lingkungan dalam neraca. Hal ini berarti bahwa akuntansi konvensional tidak memperhitungkan dampak lingkungan dari kegiatan bisnis.
  • Tidak mempertimbangkan penyusutan modal alam. Akuntansi konvensional tidak memperhitungkan penurunan nilai aset alam seperti tambang, hutan, dan lain-lain.
  • Tidak mempertimbangkan kerusakan lingkungan. Akuntansi konvensional hanya mempertimbangkan kerusakan lingkungan jika tercermin dalam denda, hukuman, izin, dan biaya pembersihan yang diberlakukan.
  • Tidak memiliki landasan teoretis yang jangka panjang untuk menghitung dan menyajikan laba akuntansi. Konsep laba akuntansi belum diformulasikan dengan jelas dan tidak ada landasan teoretis yang bersifat jangka panjang untuk menghitung dan menyajikan laba akuntansi.

Kritik yang muncul menunjukan bahwa akuntansi konvensional harus mengalami renovasi konstruktif karena bila tidak maka eksistensi akuntansi konvensional akan terancam dikarenakan tidak mampu menjawab tantangan-tantangan yang muncul sebagai imbas perkembangan jaman. Sejalan dengan ini Bruche Lev mengatakan bahwa akuntan bukan a good eyesight. Menurut Lev para akuntan masih menggunakan kacamata lensa lama yang tidak dapat melihat situasi ekonomi yang baru.

Sejatinya perubahan adalah sesuatu yang pasti akan terjadi oleh karena itu keterbatasan akuntansi konvensional menunjukan bahwa akuntansi sebagai ilmu harus terus berkembang agar dapat "melayani" kebutuhan perkembangan ekonomi yang terus berubah.

 

Dampak Akuntansi Pada Saat Ini

Sejak istilah triple bottom line diciptakan oleh Elkington (1997), penerapan prinsip pertimbangan sosial dan lingkungan atau prinsip keberlanjutan dalam bisnis yang dituntut oleh pemangku kepentingan telah menjadi tren internasional. Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan untuk menjawab tuntutan tren internasional atau global: UU No.19/2003 dan UU No.40/2007. Kedua peraturan tersebut mengharuskan perusahaan Indonesia mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam operasionalnya dalam tanggung jawab sosial perusahaan. Bedanya, yang pertama fokus pada Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, sedangkan yang kedua untuk seluruh korporasi Indonesia dan luar negeri yang beroperasi di Indonesia.

Prinsip keberlanjutan yang dianut oleh perusahaan global (termasuk yang ada di Indonesia) dalam operasional bisnisnya mengarah pada situasi keberlanjutan bisnis (Brockett dan Rezaee, 2012). Konsekuensinya adalah korporasi dituntut (oleh pemangku kepentingan) untuk mengukur, mengungkapkan dan mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dengan tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan menggunakan pelaporan keberlanjutan (GRI, 2006),  (Wieriks, 2013; Erin dkk., 2022).

Dari perspektif teori pemangku kepentingan, pelaporan keberlanjutan merupakan bentuk interaksi antara perusahaan dan pemangku kepentingannya (Hage, 2007; Wieriks, 2013). Oleh karena itu, pelaporan keberlanjutan menjadi penting bagi perusahaan (sebagai tindakan keberlanjutan bisnis) karena dapat membuat mereka memiliki kelangsungan hidup dan keunggulan kompetitif (Atkinson, 2000; Porter dan Van der Linde, 1995; Stubbs et al., 2013) dan manfaat lainnya sebagai peningkatan citra dan kinerja ekonomi (Andersen, 2003; Christofi et al., 2012; Gray et al., 1995; Landrum dan Ohsowski, 2018; Marshall dan Brown, 2003).

Selain itu, pemerintah juga mewajibkan korporasi Indonesia atau perusahaan luar negeri yang beroperasi di Indonesia untuk melakukan CSR (kegiatan keberlanjutan) sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Republik Indonesia, 2007a ), Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007. tentang Penanaman Modal di Indonesia (Republik Indonesia, 2007b), dan Peraturan Pemerintah No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan sebagai implementasi dari UU No.40/2007 (Republik Indonesia, 2012). Undang-undang dan Peraturan Pemerintah menjadi dasar inisiasi dan komitmen pemerintah terhadap praktik keberlanjutan Indonesia. Praktik ini terindikasi dalam pelaporan keberlanjutan yang diwajibkan sejak tahun 2019.

Hingga tahun 2006, hanya satu perusahaan (berdasarkan data NCSR-National Center for Sustainability Reporting) yang secara sukarela menerbitkan laporan keberlanjutan dengan peningkatan sekitar 10 (sepuluh) perusahaan dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2016, 70 dari 400 perusahaan yang terdaftar di Indonesia Bursa Efek (BEI) menerbitkan pelaporan keberlanjutan dengan menggunakan GRI sebagai pedomannya (Permatasari, 2017). Karena situasi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK No.51/2017 (OJK, 2017), yang mewajibkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk menerbitkan pelaporan keberlanjutan dengan tenggang waktu persiapan dua tahun. Oleh karena itu, mulai akhir Desember 2019, industri perbankan umum Indonesia dan bank luar negeri yang beroperasi di Indonesia wajib mempublikasikan pelaporan keberlanjutan. Tahun 2020 dan seterusnya, dasar wajib pelaporan keberlanjutan akan diterapkan pada sektor lain.

 

Transformasi Menuju Akuntansi Keberlanjutan

Akuntansi Keberlanjutan di dalamnya tergambar jejak  pengeluaran  keuangan  dan  manfaat  dari  aktifitas  yang  mengarah  pada  konservasi lingkungan.  Dengan  demikian  akan  dapat  dinilai  sejauh  mana  perusahaan  dan  organisasi lainnya memberi perhatian  pada aspek  lingkungan  hidup  di  dalam  setiap  proses  produksinya. Menurunnya kualitas lingkungan  hidup  sebagai  dampak  dari  aktifitas  bisnis  skala  lokal, nasional,  bahkan  global  menjadi  perhatian  yang  serius  semua  kalangan  dan  bangsa.

Kesadaran atas pentingnya tindakan pelestarian lingkungan hidup menjadi hal utama dalam pengelolaan bisnis modern. Banyak upaya yang telah dilakukan individu maupun korporasi untuk melindungi alam dan memelihara kelestarian lingkungan   hidup.   Pengelolaan lingkungan  hidup  sendiri  bukan  sekedar  isu  sustainability,  tetapi  sudah  menjadi  isu  bisnis, karena   dorongan   kepentingan   perusahaan   terhadap   variabel   lingkungan   meningkat. Optimisme pada pelestarian alam baru akan terjadi jika semua perusahaan memasukkan pos biaya pelestarian lingkungan di setiap proses penciptaan nilai produksinya.

Di Indonesia, beberapa peraturan yang memuat kewajiban menyusun laporan keberlanjutan, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 59/2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47/2012. Manfaat praktik akuntansi berkelanjutan, termasuk  peningkatan  reputasi perusahaan, daya tarik bagi investor sosial dan lingkungan, serta kemampuan  yang  ditingkatkan  dalam  mengelola  risiko  keberlanjutan,  juga dibahas.

Singkatnya, Akuntansi Hijau dan pelaporan informasi akuntansi hijau berbasis sustainability accounting, selain memiliki peranan yang penting dan strategis bagi para pihak eksternal dalam penilaian dan pengambilan keputusan ekonomi dan nonekonomi, juga berperan penting bagi pihak manajemen dan karyawan dalam penilaian kinerja dan pengambilan keputusan manajerial serta pengambilan tindakan-tindakan operasional untuk mendorong korporasi semakin bertumbuh kinerja dan nilainya. Informasi akuntansi hijau juga berperan penting dalam penentuan kebijakan oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya, serta menjadi “bahasa komunikasi” yang efektif untuk mengedukasi dan meningkatkan kesadaran manajemen dan para pihak terkait tentang pentingnya kepedulian pada tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada masyarakat dan lingkungan.

Sekarang ini, telah dilakukan berbagai hal untuk transformasi menuju sustainability accounting. Transformasi ini Idealnya dibutuhkan dalam membuat perusahaan sadar akan tanggung jawabnya terhadap lingkungan dan sosial.

 

Penerapan Akuntansi Keberlanjutan

Laporan keberlanjutan adalah sebuah laporan yang dibuat oleh organisasi dalam hal pengungkapan (disclose) dan pengkomunikasian tanggung jawab sosial dan lingkungan dan tatakelola organisasi kepada para stakeholdernya (Kusniah and Lestari, 2019). Laporan keberlanjutan adalah wujud riil dari praktik akuntansi keberlanjutan yang mana pengungkapannya sebagai bentuk akuntabilitas organisasi terhadap seluruh stakeholdernya. Laporan keberlanjutan memuat seluruh informasi baik keuangan ataupun non-keuangan organisasi yang dapat menciptakan interaksi antara manajemen organisasi dengan para stakeholdernya. Kebanyakan di beberapa negara masih menjadikan pelaporan keberlanjutan sebagai pelaporan sukarela (voluntary) yang masih jauh berbeda dengan laporan keuangan dan laporan tahunan yang sifatnya wajib (mandatory).

Saat ini sudah ada sejumlah standar pelaporan global yang telah banyak diadopsi oleh para pelaku bisnis dalam melaporkan tanggung jawab sosial lingkungannya.

  • GRI (Global Reporting Intiative), GRI adalah sebuah badan yang didirikan tahun 1997 di Boston, Amerika Serikat yang membentuk sebuah pedoman laporan keberlanjutan untuk pertama kalinya yaitu tahun 2000. Tahun 2002 diterbitkan lagi GRI versi 2 atau dikodekan dengan GRI G2. Atas ini GRI telah dikukuhkan menjadi standard yang sebelumnya hanya pedoman. Secara berkala dalam waktu yang berurutan diluncurkan lagi GRI G3, GRI G3.1, dan yang terakhir GRI G4 yang merupakan standar terbaru yang dibentuk pada tahun 2013.
  • SASB (Sustainability Accounting Standard Board), GRI adalah sebuah badan yang didirikan tahun 1997 di Boston, Amerika Serikat yang membentuk sebuah pedoman laporan keberlanjutan untuk pertama kalinya yaitu tahun 2000. Tahun 2002 diterbitkan lagi GRI versi 2 atau dikodekan dengan GRI G2. Atas ini GRI telah dikukuhkan menjadi standard yang sebelumnya hanya pedoman. Secara berkala dalam waktu yang berurutan diluncurkan lagi GRI G3, GRI G3.1, dan yang terakhir GRI G4 yang merupakan standar terbaru yang dibentuk pada tahun 2013.

Sejak istilah triple bottom line diciptakan oleh Elkington (1997), penerapan prinsip pertimbangan sosial dan lingkungan atau prinsip keberlanjutan dalam bisnis yang dituntut oleh pemangku kepentingan telah menjadi tren internasional. Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan untuk menjawab tuntutan tren internasional atau global: UU No.19/2003 dan UU No.40/2007. Kedua peraturan tersebut mengharuskan perusahaan Indonesia mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam operasionalnya dalam tanggung jawab sosial perusahaan. Bedanya, yang pertama fokus pada Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, sedangkan yang kedua untuk seluruh korporasi Indonesia dan luar negeri yang beroperasi di Indonesia.

Prinsip keberlanjutan yang dianut oleh perusahaan global (termasuk yang ada di Indonesia) dalam operasional bisnisnya mengarah pada situasi keberlanjutan bisnis (Brockett dan Rezaee, 2012). Konsekuensinya adalah korporasi dituntut (oleh pemangku kepentingan) untuk mengukur, mengungkapkan dan mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dengan tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan menggunakan pelaporan keberlanjutan (GRI, 2006),  (Wieriks, 2013; Erin dkk., 2022).

Dari perspektif teori pemangku kepentingan, pelaporan keberlanjutan merupakan bentuk interaksi antara perusahaan dan pemangku kepentingannya (Hage, 2007; Wieriks, 2013). Oleh karena itu, pelaporan keberlanjutan menjadi penting bagi perusahaan (sebagai tindakan keberlanjutan bisnis) karena dapat membuat mereka memiliki kelangsungan hidup dan keunggulan kompetitif (Atkinson, 2000; Porter dan Van der Linde, 1995; Stubbs et al., 2013) dan manfaat lainnya sebagai peningkatan citra dan kinerja ekonomi (Andersen, 2003; Christofi et al., 2012; Gray et al., 1995; Landrum dan Ohsowski, 2018; Marshall dan Brown, 2003).

Selain itu, pemerintah juga mewajibkan korporasi Indonesia atau perusahaan luar negeri yang beroperasi di Indonesia untuk melakukan CSR (kegiatan keberlanjutan) sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Republik Indonesia, 2007a ), Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007. tentang Penanaman Modal di Indonesia (Republik Indonesia, 2007b), dan Peraturan Pemerintah No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan sebagai implementasi dari UU No.40/2007 (Republik Indonesia, 2012). Undang-undang dan Peraturan Pemerintah menjadi dasar inisiasi dan komitmen pemerintah terhadap praktik keberlanjutan Indonesia. Praktik ini terindikasi dalam pelaporan keberlanjutan yang diwajibkan sejak tahun 2019.

Hingga tahun 2006, hanya satu perusahaan (berdasarkan data NCSR-National Center for Sustainability Reporting) yang secara sukarela menerbitkan laporan keberlanjutan dengan peningkatan sekitar 10 (sepuluh) perusahaan dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2016, 70 dari 400 perusahaan yang terdaftar di Indonesia Bursa Efek (BEI) menerbitkan pelaporan keberlanjutan dengan menggunakan GRI sebagai pedomannya (Permatasari, 2017). Karena situasi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK No.51/2017 (OJK, 2017), yang mewajibkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk menerbitkan pelaporan keberlanjutan dengan tenggang waktu persiapan dua tahun. Oleh karena itu, mulai akhir Desember 2019, industri perbankan umum Indonesia dan bank luar negeri yang beroperasi di Indonesia wajib mempublikasikan pelaporan keberlanjutan. Tahun 2020 dan seterusnya, dasar wajib pelaporan keberlanjutan akan diterapkan pada sektor lain.

 

Sustainability Accounting Dalam Perspektif Kritis

Sustainability accounting merupakan istilah yang berkaitan dengan kebijakan untuk memasukkan elemen biaya lingkungan ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah. Sustainability Accounting hadir dengan menawarkan pandangan baru dalam proses pelaporan keuangan suatu perusahaan. Sistem Sustainability accountingini membantu dalam bagaimana perusahaan dapat lebih memperhatikan adanya dampak yang terjadi oleh perusahaan tersebut terhadap lingkungan dan sosial. Namun sebagaimana akuntansi konvensional yang memiliki berbagai “cacat” dalam penerapannya, sustainability accounting juga menawarkan beberapa opsi baru dalam memberikan sebuah jalan baru bagi perusahaan dalam mengembangkan cara perusahaan dalam meningkatkan labanya. Bagaimana jika seandainya sustainability accounting yang seharusnya sebagai perantara bagi perusahaan dalam meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan, justru menjadi sebuah alat yang membantu perusahaan dalam menarik lebih banyak keuntungan dan memanfaatkan lingkungan yang seharusnya tidak diperhitungkan dalam operasional perusahaan?

Standar pelaporan nampak bahwa informasi kinerja lingkungan dan sosial belum sepenuhnya mereka laporkan. Sebagian besar perusahaan hanya sebatas melaporkan komitmen mereka berupa kebijakan perusahaan yang peduli dengan permasalahan lingkungan dan kapan walaupun masih bersifat kesukarelaan untuk mengungkapkan dampak kegiatan operasional pada kekayaan sumber alam dan manusianya sebagaimana mereka melaporkan kinerja keuangannya dalam laporan keuangan tahunan sosial. Namun untuk realisasi, dari hasil analisa di atas, belum sepenuhnya mereka laporkan sehingga hal ini setidaknya menjadi indikator bahwa kebijakan perusahaan yang peduli lingkungan dan sosial hanya sebatas kebijakan dan belum sepenuhnya dilaksanakan.  (Haryani, 2017)

Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2022) menunjukkan bahwa praktik akuntansi lingkungan perusahaan yang masih cenderung rendah berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat sehingga mengharuskan perusahaan perlu untuk melakukan praktik perekayasaan laba untuk mengembalikan dan meningkatkan kembali kepercayaan tersebut, walaupun kemudian hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bintara (2021) dan penelitian Razak & Helmy (2020) yang menyatakan akuntansi lingkungan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat perekayasaan laba.

Kehadiran salah satu penelitian menunjukkan bahwa praktik akuntansi lingkungan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat sehingga dapat mengurangi terjadinya perilaku perekayasaan laba, namun penelitian lain menyatakan kedua hal tersebut berkontradiksi. Hal ini berarti bahwa bahkan dengan penerapan akuntansi lingkungan yang digunakan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, masih belum dapat menutup adanya hubungan dalam perekayaan laba dengan penerapan akuntansi lingkungan.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yastami dan Dewi (2022) menunjukkan bahwa pengungkapan sustainability report berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham. Berdasarkan penelitian tersebut, terlihat bahwa pengungkapan sustainablity report pada akhirnya berpengaruh positif terhadap return saham perusahaan. Dapat ditarik sebuah asumsi bahwa Sustainability accounting memang benar memiliki pengaruh dalam meningkatkan keuntungan para investor itu sendiri.

Salah satu alasan hadirnya sustainability accountingdiharapkan dapat membuat perusahaan lebih memahami mengenai dampak yang diberikannya kepada lingkungan dan membuatnya mengurangi operasional yang dapat merusak lingkungan dengan melakukan pengakuan terhadap biaya lingkungan. Namun sebagaimana sebuah perusahaan yang bergerak secara profitable, tentu mereka tidak akan semata-mata menambahkan beban tanpa melakukan hal lain terhadap operasionalnya. Terdapat kemungkinan di mana dengan melakukan pengakuan terhadap biaya lingkungan, perusahaan akan meningkatkan harga jual untuk dibebankan kepada pelanggaan, atau mungkin melakukan operasional yang lebih besar dan menghasilkan laba yang lebih besar untuk menutup beban yang dihasilkan dari pengakuan biaya tersebut. Kemudian, dengan adanya pengakuan terhadap biaya lingkungan, perusahaan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, meningkatkan nama dan nilai perusahaan, menarik investor, dan meningkatkan keuntungan untuk perusahaan itu sendiri.

Secara konsep dalam pengenalannya kepada perusahaan, Sustainability accounting mungkin hadir sebagai jalan keluar dari keluhan-keluhan yang muncul seperti dampak lingkungan yang dihasilkan oleh operasional perusahaan. Kehadiran sustainability accountingsudah sangat baik dengan membuat perusahaan menampilkan pertanggungjawabannya terhadap aspek sosial, lingkungan, dan sebagainya. Namun, perusahaan-perusahaan yang menerapkan Sustainability accounting seakan mengalami kesalahan dalam cara pandangnya. Sustainability accounting yang seharusnya memperhatikan bagaimana dampak yang dihasilkan perusahaan kepada lingkungan dan sosial, justru menjadi bagaimana perusahaan dapat memanfaatkan lingkungan dan sosial dalam pelaporan keuangannya untuk memperoleh lebih banyak keuntungan. Dengan berbagai “cacat” di mana sustainability accounting seakan hanya fokus bagaimana pengungkapan biayanya, dan tidak memerhatikan bagaimana tindak lanjut dari dampak yang dihasilkan, hingga sustainability accounting tidak lebih dari sekedar surat deklarasi yang menunjukkan bahwa perusahaan “peduli” terhadap lingkungan, yang kemudian digunakan untuk memperbaiki nama perusahaan. Hingga pada akhirnya, sustainability accounting daripada menjadi sebuah alat yang membantu perusahaan dalam lebih memperdulikan aspek sosial dan lingkungan, justru menjadi alat untuk memanen lebih banyak keuntungan dalam pemanfaatan konsep pengakuan biayanya.