Kembali

SIPAKATAU, SIPAKALEBBI, SIPAKAINGE: INTERNALISASI NILAI– NILAI FALSAFAH BUGIS-MAKASSAR UNTUK MELAWAN KAPITALISME MELALUI REKONSTRUKSI PARADIGMA AKUNTAN DALAM MENDUKUNG GREEN ACCOUNTING DI ERA DIGITALISASI

A. Pendahuluan

Eksistensi kapitalisme sebagai sistem ekonomi hingga hari ini terus berkembang. Kapitalisme adalah salah satu jenis sistem ekonomi dimana industri, perdagangan, serta alat-alat pendukungnya dimiliki oleh pihak swasta dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan pribadi.

Menurut Sombart (1919) dalam Nugrahanti (2016) menyatakan bahwa akuntansi mempengaruhi aspek rasionalitas ekonomi dalam konsep kapitalisme sebagai berikut: (a) Akuntansi menyederhanakan proses kalkulasi untuk produksi dan konsumsi, karena hanya transaksi yang mempengaruhi perusahaan yang akan dicatat, (b) Akuntansi memungkinkan analisis kegiatan operasi perusahaan dan penyusunan rencana bagi perbaikan perusahaan, (c) Akuntansi berperan dalam penyusunan kerangka konseptual untuk menjelaskan sifat sistem ekonomi kapitalis melalui pembentukan istilah-istilah seperti aset, kewajiban, harga pokok produksi, pendapatan, beban, dan laba.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ketika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannya mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil seseorang yang didasarkan pada informasi ini juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Akhirnya realitas yang diciptakan adalah realitas kapitalistik. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalis akan membentuk jaringan kuasa kapitalistik. Jaringan kuasa inilah yang akhirnya mencederai etika akuntan.

IFRS yang dilahirkan di negara penganut paham kapitalis tentu saja mengusung nilai-nilai kapitalisme sehingga mengarahkan akuntan dan pelaku bisnis di Indonesia untuk terus mereproduksi kapitalisme yang penuh dengan

 

jebakan. Adapun beberapa perangkap yang melekat pada kapitalisme dalam adopsi IFRS adalah (a) semakin terbukanya kesempatan bagi pemilik modal asing untuk menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia, (b) semakin terbukanya peluang bagi sistem perekonomian kapitalisme untuk menggantikan sistem perekonomian kekeluargaan yang diamanatkan oleh UUD 1945, (c) penggunaan fair value accounting dalam IFRS menyediakan instrumen bagi keserakahan akumulasi laba dan semakin membuka peluang bagi manipulasi informasi akuntansi, (d) semakin terbukanya peluang Indonesia untuk terlibat dalam pasar global sehingga memperlancar “flow of things capitalism”, yang berdampak pada akumulasi laba sebagai satu-satunya tujuan dan pengabaian “nilai” yang lain, termasuk nilai moral.

Berdasarkan hal tersebut, diambil kesimpulan bahwa akuntansi telah dipengaruhi oleh paham kapitalis melalui maksimalisasi laba dengan menghalalkan segala yang akan terus membayangi perekonomian dan proses akuntansi. Oleh karena itu akuntan dalam melaksanakan tugasnya, harus mematuhi kode etik profesi akuntan yang didasarkan pada tujuan dan pertimbangan atas kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

Disisi yang berbeda, Perusahaan bertanggung jawab untuk mengungkapkan kegiatan sosial, ekonomi dan lingkungan. Hal ini dapat mendorong perusahaan untuk lebih memperhatikan keberlangsungan dan keberlanjutan usaha dari perusahaan. Hal ini berarti dengan menerapkan pendekatan triple bottom line dalam setiap kegiatan usahanya, perusahaan lebih berorientasi kepada dampak jangka panjang (Elkington 1997). Salah satu bentuk tanggung jawab sosial adalah ketika perusahaan yang melaporkan program anti- korupsi memberikan tanda bahwa perusahaan bertanggung jawab atas perilaku karyawan mereka dan bahwa mereka mengakui konsekuensi negatif yang dapat mempengaruhi reputasi, integritas dan legitimasi mereka jika mereka terlibat dalam korupsi (Karim, Animah dan Sasanti 2016). Strategi pencegahan korupsi dapat dimasukkan dalam praktek tanggung jawab sosial perusahaan dan dikomunikasikan kepada semua pihak dalam perusahaan serta pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal.

Upaya-upaya pencegahan korupsi diharapkan menjadi bagian dalam

 

perusahaan dan didasarkan pada aturan-aturan yang menjadi landasan anti-korupsi. Pentingnya isu anti korupsi serta masih terbatasnya penelitian empiris mengenai pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang khusus tentang pengungkapan anti-korupsi dalam pelaporan industri konstruksi di Indonesia. Sehingga menjadi satu hal yang penting bagi perusahaan untuk memperhatikan hal tersebut dalam upaya menghindari fraud di perusahaan.

Dalam kenyataannya, faktor-faktor lingkungan (misal sosial, budaya, ekonomi dan politik) selalu mempengaruhi bentuk praktik akuntansi yang dijalankan. Praktik-praktik akuntansi akan mengalami sejarah dan perkembangan yang unik seiring dengan perkembangan faktor tersebut. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk praktik akuntansi yang jarang terpikirkan oleh kita adalah faktor budaya lokal dan agama. Budaya lokal dan agama suatu wilayah akan memberikan style praktik akuntansi yang sedang berjalan.

Hasil tulisan Priyastiwi (2016) memberikan bukti empiris untuk menerapkan Model Hofstede-Gray yang menunjukkan hubungan nilai sosial dan nilai akuntansi. Bukti-bukti dalam tulisan ini juga menjelaskan dimensi budaya pada tingkat individu dan tingkat negara. Variabel budaya Hofstede cukup stabil dalam menjelaskan faktor yang mempengaruhi praktik akuntansi dan auditing pada skala nasional maupun internasional. Ketika faktor budaya berubah, mereka cenderung melakukannya secara bersamaan dalam menanggapi faktor global.

Dalam perkembangannya, kearifan lokal yang berlandaskan pada nilai keagamaan yang mulai tertinggal perlu menjadi pendongkrak akuntan dalam membangun paradigma anti kapitalisme. Beragam budaya di Indonesia dapat menjadikan akuntan Indonesia tidak terus memproduksi dan mereproduksi kapitalisme melainkan secara bertahap dapat mengurai perangkap kapitalisme, salah satunya nilai-nilai falsafah Bugis-Makassar yaitu sipakatau, sipakalebbi’, sipakainge’.

Budaya sipakatau, sipakalebbi’, dan sipakainge’ merupakan budaya suku Bugis-Makassar yang memiliki pengaruh positif terhadap pembentukan kepribadian setiap individu. Sipakatau berarti saling memanusiakan, sipakainge’ berarti saling mengingatkan agar setiap individu terhindar dari perbuatan menyimpang, dan sipakalebbi’ berarti saling menghargai serta saling memuji satu

 

sama lain. Dengan adanya penerapan ketiga budaya ini, seorang akuntan dapat menjadikan seperangkat norma yang dapat mendukung pelaksanaan kode etik akuntan dalam perspektif kearifan lokal dan menegakan fungsi anti korupsi sesuai tujuan green Accounting yang termaktub dalam aturan Global Reporting Initiative (GRI) no. GRI 205: anti korupsi.

Dari hal-hal diatas inilah yang melatarbelakangi ditulisnya paper dengan judul Sipakatau, Sipakalebbi’, Sipakainge’: Internalisasi Nilai–nilai Falsafah Bugis-Makassar Untuk Melawan Kapitalisme melalui Rekonstruksi Paradigma Akuntan dalam Mendukung Green Accounting di Era Digitalisasi, mengingat besarnya pengaruh budaya bagi kehidupan manusia serta pentingnya pentingnya nilai-nilai budaya yang dapat menjadi seperangkat norma yang dapat mendukung pelaksanaan kode etik akuntan dalam perspektif kearifan lokal dan pengentasan korupsi/fraud dalam perusahaan.

B. Isi

Inti dari keseluruhan paper ini adalah untuk menunjukkan bahwa nilai- nilai budaya sipakatau, sipakainge’, dan sipakalebbi’ memiliki peranan penting dalam membangun karakter seorang akuntan yang berbudi luhur dan merekonstruksi pemikiran akuntan untuk menghindari kapitalisme dalam melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang akuntan. Budaya sipakatau, sipakainge’, dan sipakalebbi’ dapat menjadi seperangkat norma yang dapat mendukung pelaksanaan kode etik akuntan dalam perspektif kearifan lokal berbasis religiusitas. Nilai budaya yang telah mendarah daging di setiap lini kehidupan masyarakat, tentunya akan mempengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat, baik itu dalam kehidupan sehari–harinya ataupun dalam profesionalitasnya.

  1. Menemukan Nilai Falsafah Bugis-Makassar: Sipakatau, Sipakalebbi’, Sipakainge’, dalam Konteks Green Accounting

Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Kedua hal tersebut tumbuh bersama menyusun kehidupan. Manusia yang terakumulasi menjadi satuan masyarakat melahirkan, menciptakan, menumbuhkan dan mengembangkan kebudayaan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa tak ada masyarakat yang hidup tanpa budaya, dan tak ada budaya tanpa kehadiran masyarakat. Keduanya memiliki hubungan timbal balik

Menurut Zulfikar dalam Abdul Manan (2014) mengatakan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk praktik akuntansi yang jarang terpikirkan oleh kita adalah faktor budaya lokal dan agama. Gagasan- gagasan yang muncul di balik praktik akuntansi yang dipengaruhi oleh budaya lokal suatu wilayah jelas akan berbeda dengan praktik akuntansi yang dipengaruhi budaya lokal wilayah lain. Demikian halnya pengaruh agama terhadap praktik akuntansi akan memunculkan gagasan-gagasan di balik praktik akuntansi yang bersifat agamis. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa akuntan dalam praktiknya sangat dipengaruhi oleh budaya yang melekat padanya.

Salah satu falsafah hidup kebudayaan di Indonesia yang menarik untuk ditelisik lebih jauh adalah falsafah hidup masyarakat suku Bugis-Makassar, yaitu sipakatau, sipakalebbi’, dan sipakainge’. Budaya ini merupakan budaya suku Bugis yang memiliki pengaruh positif terhadap pembentukan kepribadian setiap individu. sipakatau berarti saling memanusiakan, sipakalebbi’ berarti saling menghargai serta saling memuji satu sama lain, dan sipakainge’ berarti saling mengingatkan agar setiap individu terhindar dari perbuatan menyimpang, Ketiga falsafah ini memiliki hubungan yang positif atau sesuai dengan kode etik akuntan dalam menjalankan profesionalismenya, maka akan bermuara pada pengurangan tingkat korupsi atau fraud dalam lingkup perusahaan. Hal ini sejalan dengan pengungkapan anti korupsi yang termaktub dalam GRI no. 205: Anti Korupsi.

Pengungkapan anti-korupsi dapat membantu perusahaan untuk memperoleh pencapaian yang lebih baik. Sebuah mekanisme diperlukan dalam

 

pencegahan korupsi, hal ini merupakan suatu cara untuk memastikan bahwa perusahaan bertanggungjawab terhadap publik. Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik atau sumber daya organisasi untuk kepentingan pribadi atau personal, dan umumnya dipahami sebagai suatu tindakan yang sangat tidak diinginkan untuk masyarakat (Doh, et al. 2003). Melaporkan program anti- korupsi memberikan tanda bahwa perusahaan bertanggung jawab atas perilaku karyawan mereka dan bahwa mereka mengakui konsekuensi negatif yang dapat mempengaruhi reputasi, integritas dan legitimasi mereka jika mereka terlibat dalam korupsi(Karim, Animah and Sasanti 2016).

  1. Konstruksi Paradigma Akuntan untuk Melawan Kapitalisme dengan Internalisasi Falsafah Bugis–Makassar di Era Digital

Sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu untuk melakukan kegiatan perekonomian. Sistem ekonomi kapitalis dipelopori oleh Adam Smith pada abad ke 18 lewat karyanya yang monumental "Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of the Nations" pada tahun 1776. Dalam kapitalisme, individu berada di atas masyarakat. Kapitalisme menimbulkan permasalahan yang rumit bagi masyarakat. Pengutamaan hak-hak individu dalam kapitalisme sering kali memunculkan konflik kepentingan antar anggota masyarakat. Dalam konflik seperti ini biasanya masyarakat miskin akan kalah oleh kelompok kaya yang menguasai sumber daya ekonomi lebih banyak. Tujuan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, banyak dan sering kali di korbankan atau sebaliknya terkorbankan oleh kepentingan- kepentingan individu.

Menurut Harahap (2001: 134) akuntansi dipergunakan untuk melakukan kegiatan pencatatan dan pemberian informasi bagi investor atau pemilik modal, sehingga dengan laporan tersebut ia dapat memilih alternatif yang paling menguntungkan baginya. Dengan akuntansi pula investor dapat mengawasi aset perusahaannya dan dapat mengembangkan modalnya sehingga semakin besar dan meluas. Informasi akuntansi yang kapitalis akan membentuk jaringan kuasa kapitalistik. Jaringan kuasa inilah yang akhirnya mencederai etika akuntan. Hasil tulisan Yeterina Widi Nugrahanti (2016) menyatakan bahwa. Kapitalisme telah menguasai bisnis di Indonesia dan dunia, liberalisme yang berlebihan dan upaya

 

maksimisasi laba dengan menghalalkan segala cara membawa risiko ketidakadilan, dehumanisasi, kemiskinan dan pengangguran.

Akuntan memiliki peranan yang sangat besar dalam memerangi dampak negatif dari sistem kapitalisme. Dalam tulisan ini, dijelaskan bahwa falsafah Bugis–Makassar: sipakatau, sipakalebbi’, dan sipakainge’ yang diimbangi dengan nilai–nilai religi akan menjawab permasalahan yang terdapat dalam sistem kapitalisme. Persoalan etika yang terkait dengan praktik akuntansi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia berada. Dominasi budaya dalam sebuah masyarakat akan berpengaruh terhadap perilaku individu. Budaya merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan sistem akuntansi, termasuk didalamnya religi. Beberapa peneliti menerangkan bahwa terdapat pengaruh signifikan religi terhadap praktik akuntansi, terutama dalam konteks sosial dan budaya negara Islam maupun negara yang mayoritas penduduknya Muslim (Hamid dalam Qadra Hisna, 2018).

  1. Sipakatau Sebagai Konsep Dasar Saling Memanusiakan

Sipakatau adalah konsep yang memandang setiap manusia sebagai manusia. Prinsipnya dalam interaksi sosial adalah keharusan seseorang untuk memperlakukan orang lain sebagai manusia. Konsep ini memandang manusia dengan segala penghargaannya. Siapa pun dia dengan kondisi sosial ataupun kondisi fisik apapun dia, dia pantas diperlakukan selayaknya sebagai manusia. (Ibrahim, 2003).

Saling menghormati dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai akuntan adalah bagaimana kita menghormati hak-hak orang lain terkhusus dalam hal menyusun laporan keuangan yang benar-benar sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Sehingga, laporan keuangan yang kita hasilkan menjadi informasi yang tepat dalam pengambilan keputusan bagi pengguna laporan keuangan tanpa adanya unsur kepentingan untuk mengambil keuntungan semata.

Berdasarkan hasil penelitian anindita dan Rahmawati (2015) bahwa:

Terungkapnya berbagai kasus kecurangan laporan keuangan dimulai dari peristiwa runtuhnya salah satu perusahaan raksasa di Amerika Serikat yaitu Enron Corporation pada tahun 2001. Masalah Enron sempat mengejutkan banyak pihak, kecurangan yang dilakukan Enron juga melibatkan salah satu Kantor Akuntan

 

Publik (KAP) Internasional The Big Five Arthur Andersen (AA). Independensi auditor merupakan salah satu faktor yang diduga memicu masalah Enron. AA telah melakukan tugas pengauditan keuangan Enron hampir selama 20 tahun. Seharusnya AA banyak mengetahui masalah yang dihadapi oleh kliennya, Enron. Mengapa KAP sebesar AA tidak mampu mengungkap permasalahan di dalam organisasi Enron dan secara sadar atau tidak sadar ikut terlibat dalam suatu konspirasi oleh Enron. Arthur Andersen didakwa bersalah atas tuduhan menghalangi keadilan dengan melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran ribuan dokumen serta mematikan email dan file milik Enron yang diperlukan untuk tujuan investigasi atas kebangkrutan Enron yang terbukti telah melakukan kecurangan laporan keuangan selama 4 tahun. Banyak pihak menempatkan auditor sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap masalah ini. Hal yang menarik dari kecurangan laporan keuangan ini adalah adanya keterlibatan akuntan publik, bahkan sampai melibatkan akuntan publik teratas.

Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa kasus Enron menunjukkan adanya sikap yang saling tidak memanusiakan antara KAP dan PT Enron. KAP Arthur Andersen dan PT Enron secara sengaja bekerja sama untuk menghilangkan bukti-bukti ribuan surat elektronik dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan audit Enron serta ikut membantu proses rekayasa keuangan tingkat tinggi itu. Selain itu, Board of Director membiarkan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu mengandung unsur konflik kepentingan dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi berdasarkan informasi yang hanya bisa di akses oleh Pihak dalam perusahaan (insider trading), termasuk praktek akuntansi dan bisnis tidak sehat sebelum hal tersebut terungkap kepada publik. Oleh karena itu, kasus tersebut menunjukan adanya pengaruh kapitalisme sehingga sikap saling memanusiakan telah dibinasakan demi meraup keuntungan semata.

  1. Sipakalebbi’ sebagai konsep dasar terciptanya suasana yang menyenangkan dalam lingkungan kerja

Sipakalebbi’ adalah konsep yang memandang manusia sebagai makhluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan selayaknya. Manusia pantas diperlakukan sesuai dengan kelebihannya masing-masing. Budaya sipakalebbi’ identik dengan memberikan pujian demi menjaga keharmonisan kehidupan sehari-

 

hari. Sama halnya dengan budaya sipakatau. Penerapan budaya sipakalebbi’ dalam bekerja dapat menciptakan suasana yang menyenangkan di lingkungan kerja, serta meningkatkan semangat kerja karyawan, sehingga konflik keagenan dapat diminimalisir. Dengan demikian, secara tidak langsung akan mempengaruhi efektivitas pengendalian internal suatu perusahaan. Sipakalebbi’ dalam PT Hadji Kalla diwujudkan dalam bentuk pemberian bonus kepada karyawan sebagai wujud apresiasi atas hasil kinerjanya. Sebagaimana pernyataan informan Peta Rahmat:

“Salah satu bentuk sipakalebbi di perusahaan ini yaitu pemberian bonus atas prestasi yang dicapai di perusahaan. Saya kira masalah bonus di Hadji Kalla sudah lumayan bagus.”

Pemberian bonus dilakukan sebagai bentuk pengapresiasian perusahaan terhadap kinerja karyawan, sehingga mereka akan termotivasi dalam bekerja. Semakin sering seseorang diapresiasi atas usahanya, maka akan memberikan pengaruh positif terhadap prestasi kerjanya. Selain itu, salah satu fenomena unik di perusahaan tersebut, yaitu ketika manajemen tingkat atas menyuguhkan makanan kepada bawahannya saat perayaan ulang tahun perusahaan.

Tindakan pemimpin tersebut menunjukkan bagaimana cara mereka menerapkan budaya sipakalebbi’ terhadap bawahannya. Kondisi tersebut akan menambah semangat kerja para bawahan sehingga kualitas kegiatan operasional perusahaan akan meningkat. Meskipun demikian, implementasi budaya tersebut tidak hanya terbatas antar karyawan saja, tetapi juga berlaku bagi pelanggan. Hal ini secara jelas diungkapkan dalam salah satu unsur Kalla Way, yakni apresiasi pelanggan. Apresiasi terhadap pelanggan diwujudkan dalam bentuk pemberian pelayanan terbaik. Pada dasarnya, sipakalebbi’ merupakan salah satu upaya yang dapat memenuhi kebutuhan manusia akan harga dirinya.

Kaitan antara pengendalian internal dengan budaya sipakalebbi’, sama dengan kaitan antara pengendalian internal dengan budaya sipakatau, di mana budaya tersebut akan mempengaruhi psikologi manusia dalam menjalankan tanggung jawabnya di dunia kerja. Stewardship theory mengasumsikan bahwa ada keselarasan tujuan antara principle dengan agent, di mana hal tersebut dapat tercipta karena dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosiologi. Semakin tinggi tingkat sipakalebbi’ dalam lingkungan perusahaan maka akan berdampak pada

 

terciptanya tingkat keselarasan tujuan yang luar biasa dalam diri para karyawan, sehingga kinerja bisnis dapat terbantu.

  1. Sipakainge’ sebagai Konsep Dasar Saling Mengingatkan

Akbar Tanjung dalam artikel ilmiahnya (2019) menuliskan bahwa, sipakainge' berasal dari kata Bugis yang berarti saling mengingatkan. Dalam ajaran orang-orang Bugis terdahulu, sipakainge' (saling mengingatkan) memiliki dua nilai penting yaitu warani (keberanian) dan arung (pemimpin). Warani mengajarkan kepada manusia untuk memiliki keberanian dalam menyampaikan pendapat baik kritik maupun saran sedangkan arung mengajarkan kepada setiap manusia yang menjadi pemimpin dapat memiliki kerendahan hati untuk menerima segala pendapat (kritik dan saran).

Salah satu peran dan fungsi akuntan dalam menjalankan tugasnya adalah untuk menjalankan fungsinya sebagai seorang auditor. Auditor adalah seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau organisasi. Dalam hal ini, auditor akan memberikan opini mengenai wajar atau tidaknya sebuah laporan keuangan. Untuk melakukan antisipasi terhadap hal–hal yang tidak diinginkan, Ikatan Akuntan Indonesia telah mengatur hal mengenai prinsip dasar etika akuntan, yaitu Integritas, Objektivitas, Kompetensi dan kehati-hatian profesional, Kerahasiaan, dan Perilaku Profesional.

Keseluruhan aturan kode etik ini, menggambarkan bahwa akuntan menjadi pionir utama yang menentukan kualitas laporan keuangan. Akuntan dalam praktiknya, akan bertanggung jawab tidak hanya kepada dirinya, melainkan kepada pencipta, pengguna laporan keuangan dan lingkungannya. Sehingga, jika dalam sebuah perusahaan terdapat kepentingan yang dapat menyimpang ataupun penemuan adanya fraud, akuntan yang telah memiliki ilmu dapat menjadi garda terdepan dalam mengingatkan niat yang kurang baik tersebut. Hal ini sangat sesuai dengan falsafah hidup masyarakat suku Bugis-Makassar: sipakainge’ yang memiliki arti saling mengingatkan.

Dengan adanya kontrol sosial yang baik berupa teguran, arahan, dan nasehat kepada seseorang yang terindikasi akan melakukan tindakan yang menyimpang tentu akan mempertimbangkan dan menelaah kembali nasihat

 

tersebut. Atau setidaknya ada opini pembanding terhadap baik buruknya tindakan yang akan dilakukan serta akibat yang akan ditimbulkan. Budaya sipakainge’ yang tertanam dalam diri auditor akan berpengaruh positif terhadap tingkat profesionalismenya.

C. Penutup

Kapitalisme telah menguasai bisnis di Indonesia dan dunia, liberalisme yang berlebihan dan upaya memaksimalkan laba dengan menghalalkan segala cara membawa risiko ketidakadilan, dehumanisasi, kemiskinan dan pengangguran. Akuntan memiliki peranan yang sangat besar dalam memerangi dampak negatif dari sistem kapitalisme. Dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa falsafah Bugis– Makassar: Sipakatau, Sipakalebbi’, dan Sipakainge’ yang diimbangi dengan nilai– nilai religi akan menjawab permasalahan yang terdapat dalam sistem kapitalisme. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya sipakatau, sipakalebbi’, dan sipakainge’ memiliki peranan penting dalam membangun karakter seorang akuntan yang berbudi luhur dan merekonstruksi pemikiran akuntan untuk menghindari kapitalisme dalam melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang akuntan. Budaya Sipakatau’, sipakalebbi’, dan sipakainge’ dapat menjadi seperangkat norma yang dapat mendukung pelaksanaan kode etik akuntan dalam perspektif kearifan lokal berbasis religiusitas. Bahkan jika dikaji lebih jauh, hal ini juga mendukung konsep salah satu bagian dari green accounting yaitu pengentasan Korupsi melalui GRI no. 205: terkait anti korupsi. Nilai budaya yang telah mendarah daging di setiap lini kehidupan masyarakat, tentunya akan mempengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat, baik itu dalam kehidupan sehari–hari maupun dalam profesionalitasnya

Dalam realisasinya tentu diperlukan konsistensi dan peran dari akuntan, masyarakat, pemuka masyarakat, pemerintah dan keluarga tentunya untuk mengamalkan dan melaksanakan nilai-nilai tersebut yang tentunya dapat dimulai dari pribadi sendiri. Selain itu, penting bagi generasi muda calon akuntan sebagai tonggak penerus bangsa lebih diperkenankan dan diarahkan untuk menggali nilai- nilai luhur yang bersumber dari kearifan lokal atau adat istiadat yang berbasis religiusitas sehingga membentuk karakter kuat yang bebas dari kapitalisme.

 

DAFTAR PUSTAKA

Atifah, Nur. 2017. Etika Akuntan Dengan Memformulasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Auditor Berbasis Suku Bugis-Makassar di Makassar. Makassar : UINAM.

Harahap, Sofyan Syafri. 2001. Akuntansi Islam. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Hisna, Qadra. 2018. Pengaruh Religiusitas Terhadap Keputusan Akuntan Di Sumatera Barat. Universitas Negeri Padang : Padang.

Ibahim, Arhjayati. 2003. Internalisasi Nilai Sipakatau, Sipakalebbi’, Sipakainge dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Al- Himayah, Gorontalo : IAIN Sultan Amai Gorontalo.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2016. Kode Etik Akuntan Profesional. IAI : Jakarta. Khairunisa, Anindita Astri & Yustrianthe, Rahmawati Hanny. 2015. Kajian Empiris

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kualitas Audit. Jurnal Ilmiah Wahana Akuntansi, 10 (1) 1-23.

Kusumaningtyas, Dian. 2016. Religiusitas Pada Motivasi dan Etika Profesi Akuntan Dalam Prespektif Islam. Kediri : Universitas Nusantara PGRI.

Lako, Andreas. 2016. Rekonstruksi Paradigma Bisnis Dan Akuntansi : Menuju Akuntansi Berkelanjutan. Semarang : Soegijabpranata Chatolic University.

Maidah, Nur. 2016. Pengasuh Anak Budaya 3S ( Sipakatau, Sipakalebbi’, Sipainge’) di Perkotaan. Makassar : UNM.

Manan, Abdul. 2014. Akuntansi dalam Perspektif Budaya Jawa : Sebuah Study Etnografi Pada Pedagang Keliling di Kota Semarang. Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan (JIMAT) Volume 5 Nomor 1,: Semarang.

Priyastiwi. 2016. Pengaruh Budaya Terhadap Akuntansi, Auditing Dan Praktik Akuntansi Internasional. Jurnal Riset Manajemen, 3(1), 78-95.

Tanjung, Akbar. 2019. Budaya "Sipakatau, Sipakainge', Sipakalebbi" Pelestarian Budaya Lokal Bugis. Kompas : Jakarta.