Kembali

MENUJU MASA DEPAN HIJAU ATAU GELAPNYA NEOLIBERALISME?

Perubahan iklim oleh global warming, hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran lingkungan, bencana alam, krisis air, serta banyaknya limbah pabrik merupakan wujud nyata dari kondisi lingkungan global saat ini. Isu lingkungan tersebut hendaknya menjadi pengingat bagi semua kalangan agar hendaknya menjaga lingkungan. Isu yang paling di soroti hari ini adalah isu global warming. Pada tahun 2006, Stern menyimpulkan bahwa perubahan global warming akan memiliki konsekuensi terhadap beberapa aspek, termasuk produksi makanan, ketersediaan air, kenaikan permukaan air laut, kejadian cuaca ekstrem, dan ketidakstabilan ekosistem. Global warming disebabkan oleh tingginya emisi gas rumah kaca yang berasal dari kendaraan bermotor serta aktivitas industri. Maka dari itu perusahaan turut ikut andil dalam kerusakan lingkungan yang terjadi.

“Parah! Demi Cuan, Perusahaan Ini Anggap Remeh Pemanasan Global”, begitulah headline yang terpampang dalam website detik finance. Dari berita tersebut dapat diketahui bahwa TotalEnergies perusahaan minyak asal Prancis dianggap meremehkan risiko global warming sejak 50 tahun yang lalu. Menurut sebuah artikel dalam majalah perusahaan bernama Total Information pada tahun 1971, dikemukakan bahwa penggunaan bahan bakar fosil secara berkelanjutan dengan emisi karbon yang tinggi dapat menyebabkan pencairan sebagian lapisan es dan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida dalam atmosfer. Namun, pihak perusahaan membantah dugaan tersebut dan mengaku bahwa sejak 2015, pihaknya telah berfokus pada energi terbarukan sejak tahun 2015. Dari kasus tersebut dapat kita lihat bersama-sama bahwa satu perusahaan saja yang di anggap lalai dalam menanggulangi risiko global warming, maka ia akan di sorot oleh dunia dan di cap telah meremehkan isu lingkungan khususnya oleh para peneliti. Maka dari sini kita tahu bagaimana sikap dunia tentang risiko global warming yang diakibatkan oleh aktivitas pabrik atau perusahaan.

Demi akumulasi keuntungan yang tidak sepadan dengan akibat yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang harganya jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan menggunakan energi terbarukan, yang menurut penulis menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak perusahaan yang tetap mengabaikan risiko global warming akibat aktivitas bisnisnya.

Terdapat kasus kerusakan lain yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, Indonesia. Laporan yang berjudul "Mengapa Tanah
Kami? Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Membahayakan Lahan Gambut dan Penghidupan Masyarakat" sebanyak 78 halaman berisi tentang penelitian terhadap perilaku PT Sintang Raya, sebuah anak perusahaan Deasang Corporation dari Korea Selatan, di tiga desa yang terkena dampak pasang surut di Provinsi Kalimantan Barat. Human Rights Watch menemukan bahwa perusahaan tersebut telah mendirikan dan memperluas perkebunannya di lahan gambut, yang pada dasarnya berfungsi untuk membantu mengatasi perubahan iklim, tanpa  melakukan konsultasi yang berarti dengan penduduk setempat dan tanpa memberikan kompensasi yang memadai atas hilangnya lahan pertanian atau mata pencarian warga. Selain itu, polisi juga dilaporkan melakukan pelecehan, intimidasi, dan tindakan hukum terhadap warga desa yang memprotes atau melawan tindakan tersebut. Masyarakat setempat melaporkan adanya peningkatan hama dan masuknya air laut ke wilayah daratan sejak perkebunan mulai beroperasi. Mereka berpendapat bahwa kondisi tersebut berdampak negatif terhadap sektor pertanian dan hasil panen mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam menegakkan kebijakan dan hukumnya sendiri. Sampai saat ini, pemerintah belum berhasil memperkuat perlindungan terhadap warga dan tanah mereka, serta berbagai undang-undang yang beru saja dikeluarkan justru memudahkan terjadinya pelanggaran yang beragam.

Melihat lebih dekat, yaitu di Pulau Koddingareng terdapat proyek MNP (Makassar New Port) melibatkan penambangan pasir dari Pulau Koddingareng, yang memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat setempat. Mata pencaharian nelayan di Koddingareng sangat terganggu akibat penambangan pasir tersebut. Namun, PT Pelindo sebagai pihak yang bertanggung jawab atas proyek MNP ini, program CSR yang dilaksanakannya tidak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan. Bahkan, program CSR Pelindo seperti pengadaan tempat sampah dan lainnya telah diselidiki ulang. Terdapat ketidaksesuaian antara tindakan perusahaan dan dampak yang terjadi pada lingkungan. Meskipun pemerintah telah menerapkan regulasi terkait kewajiban penerapan CSR, namun tidak ada bentuk yang spesifik.

Sehingga, perusahaan cenderung melakukan program CSR sesuai keinginannya sendiri, tanpa mempertimbangkan dampak yang sebenarnya terjadi.
Dapat dilihat dari sampel kasus isu lingkungan di atas, maka terdapat isu lain yang dianggap menjadi solusi adalah keberlanjutan lingkungan. Di akhir tahun 2021 isu ini dibahas pada Conference of the Parties ke 26 (COP-26) di Glasgow, Skotlandia, dimana Indonesia menjadi sorotan utama dikarenakan target net zero emission pada 2060 oleh pemerintah Indonesia dianggap responsif terhadap isu perubahan iklim. Dari pembahasan di atas, maka kita sebagai akuntan harus ikut andil dalam keberlanjutan lingkungan. Saat ini, perusahaan diwajibkan menerapkan sustainability accounting sebagai bagian dari tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Dalam hal ini, peran akuntan adalah menyusun laporan baik dari segi
manajemen maupun akuntansi yang menggambarkan dampak emisi gas rumah kaca terhadap lingkungan atau pengaruh proses bisnis perusahaan terhadap lingkungannya. Sustainability accounting adalah praktik mengukur, menganalisis, dan melaporkan dampak sosial dan lingkungan perusahaan. Pengungkapan tindakan sosial dan lingkungan dilakukan oleh perusahaan melalui Laporan Environmental, Social, and Governance (ESG) yang disusun oleh akuntan.

Penerapan sustainability accounting di Indonesia menjadi penting karena Indonesia masih memiliki risiko bencana lingkungan yang tinggi, seperti banjir, panas ekstrem, dan kenaikan suhu yang signifikan. Upaya untuk mengatasi perubahan iklim telah ditekankan oleh The Brundtland Report yang diterbitkan oleh PBB, yang menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan dari pemerintah dalam semua aspek.

Namun, dalam pengambilan keputusan yang menerapkan sustainability accounting, perusahaan seharusnya tidak hanya mempertimbangkan peningkatan laba dan penghematan biaya semata, tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan dan sosial. Ini dapat dicapai melalui kegiatan yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan sosial. Namun, pada kenyataannya, sustainability accounting dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) sering kali hanya digunakan sebagai alat pencitraan dan formalitas belaka. Misalnya, perusahaan mengganti kebijakan kerusakan lingkungan dengan pengadaan beasiswa di bidang sosial.Terkadang, penerapan CSR juga dipengaruhi oleh kepentingan lain, seperti persepsi konsumen yang lebih positif dan ketertarikan investor terhadap komitmen perusahaan terhadap lingkungan.

Perusahaan yang tidak menerapkan CSR biasanya hanya dikenai sanksi administratif, sehingga regulasi pemerintah juga tidak terlalu berkomitmen. Karena itu, penerapan CSR dan dampaknya tidak selalu sejalan. Secara keseluruhan, penerapan CSR di Indonesia tidak selalu berjalan dengan baik karena kurangnya komitmen dalam regulasi pemerintah, tekanan untuk menggunakan energi fosil yang lebih murah, dan tekanan legislatif yang kurang kuat.

Mengapa sustainability accounting tidak dapat dijadikan solusi nyata dari isu lingkungan saat ini? Menurut penulis hal tersebut dikarenakan adanya praktik neoliberalisme dalam hal ini disebut dengan neoliberalisme lingkungan. Para pihak yang menerapkan kebijakan neoliberalisme, baik itu negara maupun korporasi internasional, sering kali terlalu fokus pada pencapaian keuntungan materi dan mengabaikan pentingnya keberadaan lingkungan hidup yang menjadi tempat mereka beroperasi. Neoliberalisme bertujuan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui kerja sama ekonomi dengan negara-negara lain. Salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan ekonomi tersebut adalah melalui penciptaan pasar bebas atau perdagangan bebas. Dalam kondisi pasar bebas saat ini, neoliberalisme menjadi suatu pendekatan yang berfokus pada pasar, dan memiliki pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi yang didasarkan pada praktik neoliberalisme, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu melalui pasar bebas, ternyata memiliki dampak negatif bagi kehidupan manusia. Para aktor yang terlibat dalam upaya pembangunan ekonomi ini menunjukkan sikap kapitalis dan tampaknya tidak memedulikan kesejahteraan lingkungan, sehingga tidak mempertimbangkan pentingnya kelestarian lingkungan. Akibatnya, lingkungan semakin terus mengalami kerusakan yang menjadi sorotan di dunia internasional. Isu lingkungan ini menjadi hal yang sangat penting bagi dunia, karena fenomena kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi di beberapa tempat tertentu, melainkan di seluruh dunia.

Menurut pandangan penulis, banyak masyarakat yang menganggap bahwa kerusakan lingkungan terjadi karena rendahnya pemahaman dan kesadaran mereka terhadap lingkungan hidup. Namun, kenyataannya, kerusakan alam yang semakin meluas ini disebabkan oleh strategi pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi politiknya, yang mencakup eksploitasi sumber daya alam yang ada.

Aktivitas aktor-aktor neoliberalisme tersebut turut ikut andil dalam penerapan sustainability accounting, khususnya di Indonesia. Minimnya pengawasan dan tidak konsistennya pemerintah dalam menerapkan regulasi terkait wajibnya penerapan CSR di seluruh perusahaan yang mempunyai dampak langsung ke lingkungan cukup menjadi bukti bahwa neoliberalisme sudah mengakar dalam berbagai sistem di Indonesia. Kebijakan neoliberalisme memang terbukti dapat memfasilitasi aktivitas perdagangan antar negara. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan neoliberalisme bermanfaat bagi negara-negara dalam mencapai keuntungan ekonomi. Termasuk Indonesia. Regulasi yang seharusnya membantu perbaikan lingkungan malah diabaikan oleh sistem neoliberalisme.

Seperti yang telah di uraikan sebelumnya, kebijakan CSR yang harusnya menanggulangi atau mencegah terjadinya kerusakan lingkungan, malah tidak
sesuai akibat niat akumulasi keuntungan sebesar-besarnya oleh para aktor neolib. Pengadaan beasiswa yang seharusnya hal tersebut di bidang sosial dan pendidikan, pengadaan paperbag atau goodie bag yang justru harganya di markup. Bukannya menjadi alat solusi, CSR justru menjadi alat untuk mengeruk profit besar dengan mengatasnamakan kepedulian lingkungan.

Walaupun masyarakat sudah di edukasi (melalui program yang tentunya memerlukan anggaran) tentang pentingnya menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, melakukan reboisasi, memakai tumbler (yang juga produk kapitalis), menghemat air, menggunakan transportasi umum bukan kendaraan pribadi, hal tersebut tidak berguna jika perusahaan tidak menerapkan CSR dengan tujuan sebenarnya. Serta jika sistem yang mengendalikan pemerintah adalah neoliberalisme maka akan sangat sulit untuk menghentikan kerusakan lingkungan akibatnya gelapnya praktik neoliberalisme.

Lalu mengapa kebijakan CSR tidak dihapuskan saja? melihat realisasinya yang tidak sesuai ekspektasi dan regulasi. Menurut penulis hal tersebut terlalu pesimis. Semestinya, hal yang harus diubah adalah bagaimana cara/praktik perusahaan dalam menerapkan CSR ini agar sesuai dengan tujuan yang sebenarnya. Tentunya untuk mengubah praktiknya tidaklah mudah, neoliberalisme yang sudah mengakar dan menggelapkan sistem di Indonesia haruslah diatasi. Penyebaran isu neoliberalisme lingkungan menjadi penting agar masyarakat menjadi tahu dan sadar bahwa terdapat akar dari masalah lingkungan yang selama ini kita hadapi. Sebagai seorang akuntan, sustainability accounting menjadi salah satu cara agar mengetahui apakah benar sebuah perusahaan sudah menerapkan CSR dengan benar, dan bukan hanya sebagai formalitas dan sebagai alat akumulasi keuntungan saja. Dengan musnahnya sistem neoliberalisme, maka sustainability accounting dapat menjadi jalan menuju masa depan yang lebih hijau terlepas dari gelapnya neoliberalisme.

DAFTAR PUSTAKA
Human Right Watch. (2021). Indonesia: Ekspansi Operasi Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Membahayakan. Diakses pada 22 Juni 2023 dari
https:/ /www.hrw.org/id/ new s/2021/ 06/03/ 378780 .

Oswaldo, Ignacio Geoordi. (2021). Parah! Demi Cuan, Perusahaan Ini Anggap  Remeh Pemanasan Global. Diakses pada 22 Juni 2023 dari

https:/ /finance.detik.com/energi/d-5775876/parah-demi-cuan- perusahaa n- ini- anggap - remeh- pemanasan- global.

P. Sihombing, Ranto, Hastuti, Dwi Theresia. (2020). Dukungan Akuntansi bagi Keberlanjutan. PT KANISUS, Yogyakarta.

Putri, Andini Maritza Putri. (2022). Praktik Neoliberalisme: Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi yang Berakibatkan Kerusakan Lingkungan Hidup.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga