Kembali

Pendidikan Bagi Bangsa

1. KONDISI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Begitu luas bentuk ketimpangan yang terjadi di Indonesia pada hari ini, tidak terkecuali pendidikan. Pendidikan yang bertugas menjadi fondasi bagi kemajuan bangsa kini tak mampu mengemban tugas mulianya secara keseluruhan. Hanya kalangan tertentu yang dapat merasakan pendidikan yang berkualitas.
Melansir dari tulisan Viva Budy Kusnandar di website databoks.katadata.co.id, hanya 6% warga Indonesia yang berpendidikan tinggi dari Juni 2022, beliau mengatakan bahwa “Menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), penduduk Indonesia berjumlah 275,36 juta jiwa pada Juni 2022.
Dari jumlah tersebut hanya 6,41% yang sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Rinciannya, yang berpendidikan D1 dan D2 proporsinya 0,41%, kemudian D3 sejumlah 1,28%, S1 sejumlah 4,39%, S2 sejumlah 0,31%, dan hanya 0,02% penduduk yang sudah mengenyam pendidikan jenjang S3. Sampai Juni 2022 penduduk Indonesia yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) ada sebanyak 20,89%.
Kemudian yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 14,54%. Sementara itu 23,4% penduduk Indonesia merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD). Ada pula 11,14% yang belum tamat SD, dan penduduk yang tidak sekolah/belum sekolah mencapai 23,61%”. Berikut rincian jumlah penduduk Indonesia menurut jenjang pendidikan per Juni 2022:

  • S3: 61.271 jiwa
  • S2: 855.757 jiwa
  • S1: 12.081.571 jiwa
  • D3: 3.517.178 jiwa
  • D1 dan D2: 1.126.080 jiwa
  • SLTA: 57.533.189 jiwa
  • SLTP: 40.035.862 jiwa
  • Tamat SD: 64.446.545 jiwa
  • Belum Tamat SD: 30.685.363 jiwa
  • Tidak/Belum sekolah: 65.018.451 jiwa

Dari kedua data yang kami himpun, dapat kita konklusikan bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu untuk diakses oleh masyarakat secara menyeluruh. Yang menjadi pertanyaan bagi banyak orang mengapa hanya beberapa saja masyarakat yang mampu mengenyam Perguruan Tinggi?
Tentu saja jawaban dari semua ini tidak lain adalah faktor ekonomi. Masyarakat Indonesia didominasi oleh buruh, yang dimana penghasilan mereka belum mampu untuk mencukupi skala kebutuhan harian mereka untuk melangsungkan hidup jika harus melanjutkan hingga ke Perguruan Tinggi.

Data-data di atas adalah bukti konkret mengenai pembagian pekerjaan masyarakat Indonesia yang didominasi oleh kelas pekerja/buruh. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2022 upah rata-rata per jam pekerja sebesar Rp.17.542 se-Indonesia. Jika kita asumsikan pekerja bekerja selama 8 jam/hari maka upah hariannya sebesar Rp.140.336. Dikalikan dengan 26 hari kerja dalam sebulan maka mereka menghasilkan sekitar Rp.3.648.736.
Melansir dari CNBC Indonesia, Ternyata, Warga RI Semakin Kaya Semakin Irit Belanja Sembako, dalam berita itu dinyatakan “Hasil Susenas Maret 2022 menunjukkan, rata-rata pengeluaran semakin meningkat seiring tingginya kuintil pengeluaran” demikian penjelasan BPS dalam Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia, Susenas Maret 2022, dikutip Selasa (1/11/2022).
“Setiap penduduk kuintil kelima atau kuintil tertinggi memiliki rata-rata pengeluaran sebesar Rp3.067.188 sebulan. Sekitar 6 kali lebih besar dibandingkan pengeluaran penduduk kuintil pertama yang pengeluarannya hanya Rp476.384 sebulan,” lebih lanjut hasil Susenas Maret 2022. Inilah kekonyolan paradoks pada headline media, bagaimana mungkin ini dikatakan semakin irit?
Faktanya dengan asumsi yang kami paparkan saja penghasilan masyarakat umum hanya berkisar Rp.3.648.736 per bulannya, jika mereka melakukan konsumsi sebesar Rp3.067.188 sebulan seperti masyarakat mampu tentu saja tidak menutupi keperluan lainnya. Maka wajar saja masyarakat kuintil pertama terpaksa mencekik leher mereka karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Problematika inilah yang dihadapi masyarakat kelas bawah sehingga mereka tidak mampu untuk mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan terpaksa bekerja hanya untuk menutupi kebutuhan harian mereka. Biaya pendidikan pun begitu tinggi, salah satu contoh adalah Universitas Negeri di Indonesia yang menerapkan “Uang Kuliah Tunggal” minimum gratis namun akses pemberian jalurnya sulit.
Jika mereka tetap ingin mengakses, mereka harus membayar golongan 3 dengan kisaran Rp.2.000.000-Rp.3.000.000 per semesternya, jika dikalkulasikan maka kurang lebih harus menabung sekitar Rp.500.000 per bulannya. Itu pun hanya untuk tanggungan 1 anak, dan umumnya masyarakat Indonesia memiliki lebih dari 1 anak. Dengan begitu beban yang harus mereka jalani jauh lebih besar dari sekedar memenuhi kebutuhan hidup.
Pada Hari Pendidikan Nasional di tahun ini, pemerintah mengusung tema “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar”. Seperti yang kita ketahui ada sebuah program bernama Kampus Merdeka yang diantaranya mengadakan kegiatan magang bersertifikat, riset/penelitian, serta wirausaha. Dari program-program yang diadakan ini tentunya terbersit dalam benak kita “apa yang salah dari semua ini?”.
Mari kita mulai dari magang bersertifikat, para mahasiswa tentunya akan tergiring pada pemikiran “hal yang menguntungkan adalah ketika kita melakukan sesuatu (bekerja) kita dapat langsung menikmati hasilnya”. Ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya keliru, namun yang perlu dipertanyakan apakah hasil yang diperoleh itu sepenuhnya kita dapatkan? Tak ada pemberian yang sepenuhnya tanpa imbalan bagi pemberinya, itulah sistem kapitalisme.
Apa yang dielu-elukan para mahasiswa yang menunjukkan hasil dari ‘kepuasan’ kerja mereka tak lain hanya sebuah delusi semata. Program ini hanyalah bagian dari ‘pembiasaan’ yang sistem ini ciptakan untuk para pelayan barunya kelak. Bagaimana dengan riset atau penelitian sendiri? Bukankah itu bagian dari kemajuan bagi ilmu pengetahuan? Yang perlu kita perhatikan untuk apa riset itu diadakan dan pada siapa riset itu diberikan.
“Inovasi tidak dianggap secara historis, seperti yang terjadi saat ini, sebagai 'ilmu yang diterapkan' pada industri yang berkaitan erat dengan Universitas sebagai institusi untuk produksi dan penyebaran ilmu pengetahuan. Bahkan pada akhir abad ke-19, para pemikir menganggap inovasi tidak sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan industri, tetapi ilmu pengetahuan dengan seni yang berguna” (Godin, 2014).
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Godin, ilmu pengetahuan hari ini hanyalah bagian dari alat penunjang bagi kapitalis untuk mengakumulasi modal, mengekspansi wilayah, dan utamanya mengeksploitasi alam juga para pekerja. Hal yang terpampang nyata ialah komodifikasi pendidikan, ini dapat mengubah tujuan pendidikan dari pencapaian keadilan sosial menjadi pencapaian keuntungan finansial.

Dan yang terakhir yakni wirausaha, kami rasa hal ini sudah menunjukkan arah kepatuhannya atas sirkulasi kapitalisme. “Institusi pendidikan formal selalu merupakan situs perjuangan, di mana kendali terhadap hegemoni ideologi diperjuangkan oleh berbagai aktor, seperti: negara, guru, orang tua dan tentu juga siswa” (Khalanyane, 2010).


2. KONDISI IDEAL PENDIDIKAN
A. PENDIDIKAN SECARA FILOSOFIS

Pendidikan berasal dari kata ‘didik’ yang bermakna proses atau cara mendidik. Mengutip dari perkataan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka (Tan Malaka) mengenai tujuan pendidikan, beliau mengatakan “Tujuan pendidikan yaitu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan”.
Menunjukkan bahwa tujuan hadirnya pendidikan sebagai alat manusia untuk mencapai kesadaran kritisnya dalam menilai suatu kondisi yang hadir di sekitarnya. Kita dapat menganalisa sebuah peristiwa karena adanya pengetahuan atau rasa ingin tahu kita terhadap peristiwa tersebut.
Dan ketika kita mengetahuinya, maka tentunya kita memiliki tanggung jawab atas pengetahuan yang kita miliki yaitu pengaplikasiannya dalam kehidupan kita terhadap kondisi sosial di sekitar kita. Segala hal ini terjadi karena adanya didikan yang telah diberikan kepada manusia dan membangunkan kepedulian sosialnya.
Titik klimaks dari pendidikan sendiri bukanlah hasil dari dikte manusia ke manusia lainnya, melainkan proses aktual dalam kesadaran manusia itu sendiri. Paulo Freire dalam bukunya Pedagogia do Oprimido (1968) yang berarti Pendidikan Kaum Tertindas, menjelaskan bahwa ada sebuah metode alternatif dalam mendidik dan kesadaran pada manusia dapat dilihat pada cara mereka melihat realitas.
Dimulai dari metode, Paulo Freire menekankan bahwa peserta didik adalah subjek hidup yang mampu membaca realitasnya sendiri, bukan sebuah materi kosong yang dapat disamakan dengan objek mati. Freire menentang metode pendidikan yang bermodel Bank System yang menjadikan peserta didik sebuah objek kosong yang nantinya diisi.

Cara pengisiannya pun harus dengan tunduk dan patuh secara penuh kepada pengajarnya tanpa penentangan ataupun penyampaian pendapat yang berbeda. Metode seperti ini merupakan dehumanisasi terhadap peserta didik dan berdampak pada tumpulnya rasionalitas peserta didik.
Beliau juga mengungkapkan bahwa ada 3 tipologi kesadaran dalam melihat realitas yaitu magis, naif, & kritis. Kesadaran magis merupakan tingkat kesadaran terendah di mana manusia menganggap bahwa segala kondisi yang hadir dalam tatanan sosial yang juga berdampak bagi diri mereka adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Kemudian kesadaran naif yang berada di tahap selanjutnya, di mana manusia mulai mengetahui apa yang menyebabkan mereka terjebak dalam kondisi sosial mereka saat ini namun belum mampu mengelak atas hal itu. Dan tahap tertinggi kesadaran ada pada kesadaran kritis.
Kondisi di mana manusia mampu memahami kondisi sosial yang mengekang mereka selama ini dan mampu bertindak untuk melepaskan segala bentuk kekangan yang hadir di sekitar mereka. Manusia semestinya diarahkan pada kesadaran kritis mereka untuk memahami kebenaran dalam realitas.
B. PENDIDIKAN SECARA SOSIOLOGIS
Pendidikan merupakan hak mutlak setiap orang, tanpa diskriminasi kelas sosial tertentu yang sebagaimana terjadi pada saat ini. Pendidikan sebagai bentuk usaha yang dapat membebaskan masyarakat dari segala bentuk kebodohan, kelemahan, serta ketertindasan yang tiada berakhir.
Seperti yang telah kami kaji dalam pendidikan secara filosofis mengenai tujuan hadirnya pendidikan, maka pendidikan tidak bisa dijadikan sarana pengekang bagi kelas bawah melainkan sebagai pembebas mereka dari keterpurukan. Apa yang terjadi hari ini termasuk komodifikasi terhadap pendidikan.
Hanya kelas atas dengan segala kepemilikan mereka yang menyusupkan kepentingan tertentu dan juga menyiapkan para pelayan baru mereka. Akses terhadap pendidikan bahkan diterapkan kualifikasi tertentu bagi siapa saja yang ingin mendapatkannya dan nantinya siapa saja yang berhak melayani para kapitalis.
Inilah dehumanisasi, selain mengomodifikasi pendidikan tetapi juga orang-orang yang berada di dalamnya, baik yang ingin mengakses, yang sedang berproses dalam pendidikan, dan juga mereka yang telah selesai persiapannya sebagai pelayan baru. Manusia bukanlah sebuah alat pemuas bagi manusia lainnya.
C. PENDIDIKAN SECARA YURIDIS
Dalam konteks Negara Republik Indonesia, kita memiliki landasan yang kuat terhadap hak pendidikan bagi anak bangsa, tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, BAB XIII, Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”.
Pasal ini menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu, pengaturan pelaksanaan hak tersebut tidak boleh mengurangi arti keadilan dan pemerataan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut beserta pasal penjelasnya, maka pendidikan yang semestinya bukan hanya hak bagi segelintir orang yang mampu membayarnya, tetapi seluruh orang tanpa persyaratan kelas apapun. Dan tak ada satu kalimat pun yang menyatakan peruntukan pendidikan kepada keuntungan pemilik modal.

D. SISTEM PENDIDIKAN CUBA
Pada poin ini kami akan lebih banyak mengutip dari tulisan demi tulisan yang kami dapatkan dibanding penalaran dari kami mengingat pembahasan pada poin ini memang mengarah pada kondisi historis. República de Cuba, sebuah negara yang terletak di Karibia Utara yang terdiri dari pulau-pulau.
Memiliki wilayah seluas 109.884 km2 dengan jumlah penduduk 11.113.215 orang berdasarkan sensus penduduk 2021. Negara dengan total PDB nominal US$ 254.86 miliar meskipun infrastruktur Kuba terbilang paling maju di Amerika Latin, kondisi masyarakatnya tidak berbeda jauh sebelum terjadinya Depresi Besar.
Pos-pos pekerjaan dikuasai orang non-Kuba, uang pun tidak mengalir di dalam negeri, tetapi mengucur balik ke negara investor. Selain panorama dominasi industri gula serta ketergantungan pada modal AS, salah satu ciri mencolok lain dari Kuba pra revolusi adalah ketimpangan yang sangat kentara antara Havana sebagai ibu kota serta daerah-daerah di sekitarnya.
Sementara di Havana infrastruktur dan teknologi begitu maju, di daerah lainnya bahkan tidak banyak penduduk lokal yang memiliki tanah sebagai salah satu alat produksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apa yang diambil alih oleh Che dan Castro saat menggulingkan Batista adalah negara yang mengalami keterbelakangan struktural. Tidak mudah mengelola dan bahkan membalik kondisi serba melarat tersebut”.
Persoalan ini tentunya menjadi persoalan fundamental bagi pemerintahan pasca revolusi, berbagai perencanaan disusun sedemikian rapi dari penialian atas kondisi materiil masyarakat pada saat itu. Sesuai dengan apa yang kami angkat, yaitu pendidikan, maka kami akan menjelaskan lebih jauh mengenai kebijakan pendidikan mereka.
“Kebijakan memajukan pendidikan di Kuba, sebenarnya telah dicanangkan sejak rejim Castro belum lagi berkuasa. Saat itu, bertempat di Fort Moncanda, pada 26 Juli 1953, Castro menyatakan ada enam problem yang “kita harus sesegera mungkin menyelesaikan secara bertahap” yakni, masalah tanah, industrialisasi, perumahan, pengangguran, pendidikan, dan kesehatan.
Tapi, rencana itu baru mulai betul-betul dicanangkan, saat Fidel Castro di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Banga (PBB), pada September 1960, menyatakan bahwa 1 Januari 1961 telah dicanangkannya sebagai tahun dimulainya kampanye besar-besaran di negaranya dalam memberantas buta huruf. Tahun itu juga ditetapkan sebagai Tahun Pendidikan (The Year of Education).
Sejak saat itu, dimulailah mobilisasi dan perencaan pembangunan sektor pendidikan di seluruh negeri. Para brigadistas (relawan) yang diterjunkan ke lapangan membawa buku petunjuk dan bendera Kuba satu tangan dan lampu paraffin (simbol kampanye) di tangan lainnya. Dalam memobilisasi massa terdidik untuk mengajari massa rakyat yang buta huruf, slogan yang dikumandangkan adalah “the people should teach the people”.
Di kantor-kantor, di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, dan pabrik-pabrik dikumandangkan slogan, “If you know, teach; if you don’t know, learn”. Sementara di radio dan televisi nasional, setiap saat diumumkan bahwa “Every Cuban a teacher; every house a school”.
Di organisasi-organisasi massa, dipropagandakan kepada seluruh anggotanya bahwa penyair menulis puisi, artis melukis gambar dan mendesain poster, penulis lagu menulis lagu, pers memuat berita utama tentang kemajuan dan para fotografer berpartisipasi dalam kampanye melalui gambar. Pokoknya, seluruh bangsa turut berperanserta dalam gerakan revolusioner besar-besaran dalam bidang kebudayaan: penghapusan buta huruf.
Pada 22 Desember 1961, program alphabetisasi ini berakhir. Hasilnya, angka buta huruf merosot drastis, dari 23,6% ketika program ini pertama kali dicanangkan menjadi tinggal 3,9%. Bandingkan misalnya, dengan negara-negara lain di kawasan Amerika Latin, dimana sekitar 33% penduduknya adalah buta huruf. Rata-rata angka buta huruf di kawasan itu bervariasi dari 8,6% di Argentina hingga 80% di Haiti.
97% dari penduduk yang berusia di atas 15 tahun bisa membaca dan menulis. Dari komposisi itu, jumlah laki-laki yang melek huruf mencapai 97,,2%, sedangkan perempuan mencapai 96,9%. Saat ini, Kuba juga merupakan negara dengan tenaga guru terbesar dan tersukses dalam bidang pendidikan. Sebelum revolusi pada 1959, angka buta huruf sebesar 30%. Kini penduduk yang buta huruf nol persen.
Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh 1 orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, 1 orang pengajar melayani 15 murid. Keadaan ini menyebabkan hubungan antara guru-murid berlangsung secara intensif. Setiap guru di Kuba adalah lulusan universitas dan memperoleh pelatihan yang sangat intensif dan berkualitas selama masa karirnya.

Yang unik dari sistem pendidikan Kuba, adalah hubungan guru-murid-orang tua yang tampak dikelola secara kolektif. Seluruh staf pendidikan (pengajar dan pegawai administrasi) tinggal di dekat sekolah, sehingga mereka saling mengenal satu sama lain. Bersama murid dan orang tuanya, para guru ini bekerja bersama dan menyelesaikan secara bersama masalah-masalah menyangkut bidang pendidikan, pertanian, dan kesehatan.
Metode ini merupakan pengejawantahan dari nilai hidup yang diwariskan Che Guevara, tentang solidaritas kelas. Dengannya, pendidikan tidak hanya bermakna vertikal, dimana semakin terdidik orang peluangnya untuk berpindah kelas semakin terbuka. Tapi, juga bermakna horisontal, dimana pendidikan sekaligus bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian.
Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba, yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7% dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin.
Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai dari level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan diberlakukan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. “Everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree” ujar Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba, pada 2005.
Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba. Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan program yang disebut “University for All.” Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation becomes a university”.
Melalui program ini seluruh rakyat Kuba (tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau bujangan) memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerjasama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Perlu diketahui, saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya.
Jumlah ini sekitar 63% dari total jam tayang televisi Kuba. Dalam kerjasama ini, pihak universitas menyediakan paket kurikulum pendidikan dan tenaga pengajar dan pemikir yang berkualitas. Sebagai contoh, salah satu mata acara yang disuguhkan adalah sejarah filsafat, yang diasuh oleh Miguel Limia, seorang profesor filsafat dari institut filsafat. Demikianlah, sejak program ini on-air pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitas-universitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini.
Hasil dari komitmen dan kerja keras pemerintah Kuba dalam membangun sektor pendidikan ini, nampak dari hasil kajian perbandingan yang dilakukan oleh UNESCO, terhadap siswa dari 13 negara Amerika Latin di bidang matematika dan bahasa. Dari studi itu diperoleh hasil, prestasi siswa Kuba jauh di atas prestasi siswa dari negara lainnya yakni, sekitar 350 point. Bandingkan dengan Argentina, Chile, dan Brazil yang nilainya mendekati 250 poin”.

3. KESIMPULAN
Melihat kondisi pendidikan hari ini di Indonesia beserta data yang kami paparkan, nampak bahwa kita terkungkung dalam ketergantungan terhadap pola pikir dan kondisi tertentu karena tak dapat dipungkiri kita berada dalam hegemoni kapitalisme. Dengan sistem Neoliberalisme yang menjadi tangan mereka saat ini.
Ada sebuah pernyataan dari Coen Husain Pontoh “modal manusia (human capital) jauh lebih bernilai ketimbang modal kapital (financial capital). Modal manusia meliputi tidak hanya pengetahuan, tapi juga – dan ini yang sangat mendasar – kesadaran, etika, solidaritas, rasa kemanusiaan yang sejati, semangat rela berkorban, kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam jangka panjang”.
Oleh karena itu, kita sebagai kaum yang terdidik memiliki kewajiban dalam mendistribusikan pengetahuan dan menyatu dalam pergerakan counter hegemony terhadap sistem yang berlaku saat ini. Jangan sekali-kali kita berpikir bahwa hal ini adalah keniscayaan yang nihil, karena Republik Kuba telah membuktikannya dalam realitas.
Perjuangan ini memang sulit, seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka “Kelahiran suatu pemikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya”. Tapi itu bukanlah sebuah jawaban bahwa ssuatu hal tidak mungkin terwujud.