Kembali

Sibuk Rebut Kekuasaan, Gagal Wujudkan Kesejahteraan

       Masyarakat Indonesia dihadapkan pada persoalan kenaikan harga pangan. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), rata-rata kenaikan harga pangan pokok strategis dalam 3 bulan awal di tahun 2024 ini sekitar 2%, secara nominal kenaikan tersebut mencapai Rp 900. Kenaikan harga pangan pun begitu variatif. Pangan utama seperti beras medium saja mengalami kenaikan yang cukup tinggi, pada bulan Januari berada di harga rata-rata nasional Rp 13.310/kg, hingga pada bulan Maret ini menyentuh harga Rp 14.340/kg. Sedangkan beras premium pada bulan Januari berada di angka Rp 15.110/kg, dan pada bulan Maret menembus angka Rp 16.460/kg berdasarkan skala nasional.

APA PENYEBABNYA?

Kerakusan Industri: Krisis Iklim & Krisis Pangan

       Memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, sehingga alam pun menjadi korban. Dalam corak produksi Kapitalisme, perusahaan bersaing untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan terus meningkatkan produksi industri, menggunakan mesin & energi dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan peningkatan permintaan akan energi, yang pada gilirannya meningkatkan emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer dan menyebabkan peningkatan suhu rata-rata bumi. Peningkatan penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi di pembangkit listrik menghasilkan emisi karbon dioksida yang besar. Hal ini berimbas pada pemanasan global, perubahan iklim, dan peningkatan risiko bencana alam. Sektor pertanian, khususnya komoditas padi, dipengaruhi oleh perubahan iklim. Pergeseran musim hujan pada setiap tahun menyebabkan pergeseran musim tanam dan panen komoditi pangan (padi, palawija dan sayuran). Kenaikan suhu udara akan berdampak pada penurunan produktivitas tanaman akibat peningkatan respirasi pada malam hari, serta peningkatan serangan hama dan penyakit tanaman. Bencana kekeringan dan banjir akibat perubahan iklim juga dapat menurunkan produksi pertanian bahkan gagal panen.

Masyarakat Butuh Makan!

       Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, terjadi inflasi year on year (y-on-y) sebesar 2,75% di Februari 2024, sebuah capaian positif dibandingkan inflasi year on cenderung positif, kenaikan harga pangan memberikan dampak yang signifikan pada masyarakat. Pentingnya memperhatikan kesejahteraan seluruh masyarakat tidak hanya dapat diukur dari APBN. Hal ini tercermin dalam laporan profil kemiskinan nasional yang dikeluarkan oleh BPS pada Maret 2023, tercatat bahwa tingkat kemiskinan masih tinggi dengan persentase penduduk miskin mencapai 9,36%. Untuk apa angka-angka tersebut tertuang dalam laporan kemudian dielu-elukan? Masyarakat lebih membutuhkan pangan untuk memastikan keberlanjutan hidup.

Peran Penting dalam Produksi Pangan: Tanah

       Tanah-tanah yang dikelola oleh masyarakat untuk menghasilkan pangan, khususnya beras, kerap mengalami perampasan tanah, seperti yang terjadi di Wadas, Takalar, Bulukumba, dan wilayah lainnya. Brutalitas ini telah terjadi selama puluhan tahun lamanya. Sertifikasi tanah sebagai alat untuk mengambil alih tanah, dalam hal ini Hak Guna Usaha (HGU) yang telah ditetapkan sejak Orde Baru. Tanah-tanah yang dirampas ini kemudian akan dialihfungsikan untuk pembangunan infrastruktur dan ekspansi jenis-jenis industrial lainnya. Pemisahan tanah (sarana produksi) dengan masyarakat (produsen) mendorong kecenderungan masyarakat mencari solusi lain dalam memenuhi kebutuhannya. Tak sedikit masyarakat yang pada akhirnya bergantung kembali pada orang-orang yang mengambil tanah mereka. Perampasan tanah yang bersembunyi dalam kata “pembangunan” serta impor sebagai solusi dalam menghadirkan pangan terjadi atas kehendak pemerintah. Implementasi kebijakan-kebijakan inilah yang berdampak besar pada krisis pangan dan harga saat ini.

Food Estate Sebagai Penyelamat Kita?

       Food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang mencakup bidang pertanian, perkebunan dan peternakan dengan tujuan menjaga juga memenuhi kebutuhan pangan dalam skala tertentu, dan tentunya mengantisipasi krisis pangan yang saat ini mengancam beberapa negara. Food estate menjadi program pembangunan kawasan pangan skala besar strategis nasional untuk mendukung ketahanan pangan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pada 2 November 2020 oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food estate. Namun, pada penerapannya food estate hanya menyebabkan permasalahan lingkungan seperti pelepasan karbon akibat penggundulan hutan, terancamnya keanekaragaman hayati, dan bencana banjir. Menurut World Resources Institute, food estate bukanlah solusi tepat untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia. Permasalahan utama pangan di Indonesia adalah terkait distribusi, bukan ketersediaan. Selain itu lahan gambut yang digunakan sebagai penempatan lokasi proyek food estate tidak memiliki kualitas yang baik dan tidak cocok untuk pertanian padi atau sayuran. Hal ini dikarenakan kesuburan yang rendah, pH yang sangat asam, dan selalu tergenang. Pemodalan food estate bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, dimana angka yang dikeluarkan cukup besar, yaitu sebesar Rp 3,9 Triliun di tahun 2022, yang mana kenyataannya mengalami kegagalan.

Bantuan Sosial demi Kepentingan Elit Politik

       Bantuan sosial (bansos) tak dapat dilihat sebagai bantuan belaka, bansos juga bisa dilihat sebagai upaya negara mengikat warganya dalam ikatan pamrih politik. Sesuai dengan mandat konstitusi, negara hadir dalam wujud program karitatif berbentuk bansos, sebagai bagian dari skema perlindungan sosial. Meski demikian, sifat bansos yang langsung memberi dampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat sangat rentan dipolitisasi. Salah satu contoh, bansos berupa beras 10 kg dengan gambar pasangan calon peserta pilpres ditemukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, bahkan fotonya beredar di aplikasi percakapan Whatsapp. Indikasi lainnya bahwa bansos dibagikan oleh Jokowi sendiri bukan melalui Kementerian Sosial. Menteri Sosial, Tri Rismaharini, tidak mendampingi Jokowi ketika bansos tersebut dibagikan. Hal tersebut memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan elit politik tertentu.

Bukan Bantuan Sosial, namun Bantingan Sosial

       Sumbangsih inflasi komoditas pangan pada tahun ini mencapai 74,21%, sementara komoditas non-pangan hanya 25,75%. Pemberian bansos pada masyarakat seharusnya menjadi momentum yang baik tanpa adanya masalah, namun tata kelola negara terhadap program ini ternyata amburadul. Pemberian bansos yang dilakukan dengan masif tak terkendali mengakibatkan ketidakseimbangan distribusi pangan. Keadaan ini membuat Indonesia menjadi negara produsen beras dengan harga termahal dibandingkan dengan negara produsen beras lainnya. Lonjakan ini seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk segera mengambil tindakan dalam mengatasi kenaikan harga pangan. Kontestasi politik belakangan ini turut andil dalam berbagai persoalan akhir-akhir ini, namun persoalan utama yang harus terselesaikan ialah pangan sebagai kebutuhan primer kita.

Kesejahteraan RAKYAT Kini Utopia Belaka!

       Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan (GKM) maupun non-makanan (GKNM). BPS menetapkan GK pada September 2021 sebesar Rp 486.168, terdiri GKM Rp 360.007 (74,05%) dan GKNM Rp 126.161 (25,95%). GK tersebut membuktikan bahwa 74,5% proporsi pengeluaran penduduk miskin adalah untuk konsumsi makanan. BPS (2021) juga mencatat pengeluaran penduduk Indonesia sebesar Rp1.225.685 per kapita per bulan. Di mana sebanyak Rp603.236 (49,22%) digunakan untuk pengeluaran makanan dan Rp622.449 (50,78%) untuk pengeluaran bukan makanan. Semakin meningkat harga pangan, maka garis kemiskinan dan angka kemiskinan semakin meningkat. Dengan demikian, kenaikan harga pangan juga mengakibatkan penduduk miskin terjerumus ke dalam kelompok rawan pangan karena menurunnya konsumsi pangan.