Kembali

KAJIAN FILOSOFIS TERHADAP NARASI GREEN ACCOUNTING : JAWABAN ATAU JEBAKAN?

PENDAHULUAN

Fajar abad ke-14 merupakan penanda bagi era baru peradaban manusia. Zaman ini kerap disebut dengan pencerahan atau Rennaissance. Mengapa tidak, pada saat itu manusia mulai memantapkan diri untuk menggunakan rasio sepenuhnya dalam berhadapan dengan realitas. Keberadaan rasio dianggap sebagai esensi atas eksistensi manusia, oleh karena itu penggunaan rasio digadang-gadang akan membawa umat manusia pada kualitas yang makin baik dari waktu ke waktu (modernisasi). Akan tetapi upaya manusia untuk memahami dan menerjemahkan realitas dengan menggunakan rasio/akal budi malah memisahkan dirinya sendiri dengan alam.

Menilik kembali pemikiran Friedrich Nietzsche dan Rene Descartes yang mempostulatkan akal budi sebagai titik tolak segala sesuatu, juga sesuatu yang sudah pasti tidak bisa disangsikan, manusia kemudian semakin terpisah dengan alam. Inilah yang kemudian disebut oleh Martin Heidegger sebagai pola pikir teknologi, yaitu manusia mengklaim dirinya sebagai satu-satunya Yang Ada sedangkan alam dianggap sebagai Pengada yang siap menunjang seluruh kebutuhan hidup manusia. Konsekuensinya logisnya adalah manusia mengobjektivasi dan memandang alam sebagai sebuah alat raksasa pelengkap keberadaan semata.

Rasio yang selalu mencoba memahami alam sebagai alat/instrumen inilah yang kemudian dinamakan sebagai Rasio Instrumental. Rasio instrumental tidak memahami hutan sebagai habitat berbagai hewan dan tumbuhan lain, melainkan sebagai lahan luas penghasil sandang, pangan, dan papan. Hasilnya, manusia berusaha untuk menundukkan alam bagi dirinya sendiri. Gunung-gunung dikeruk, laut dijarah, hutan digunduli, bumi dihisap, bahkan sesama manusia berusaha untuk saling menundukkan dan mengeksploitasi. Semuanya terjadi sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, yang didukung oleh perkembangan rasio instrumental.

Upaya manusia untuk menundukkan alam juga disokong oleh perkembangan ilmu pengetahuan bercorak positivis yang bebas nilai. Mengehendaki ilmu pengetahuan yang bebas nilai berarti berharap pada independensi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ditempatkan untuk dirinya sendiri, dengan manusia sebagai subjek pasif. Andil manusia dalam ilmu pengetahuan bercorak positivis hanya sebagai perumus dan pengamat. Alam dianggap hadir sebagaimana adanya dan akan selalu statis dalam ruang maupun waktu. Oleh karena itu positivisme dianggap telah memisahkan antara pengetahuan dan praksis aktif manusia.

Corak pandang postivisme selalu menempatkan manusia sebagai subjek pasif karena segala sesuatu dianggap sebagai keniscayaan. Alam telah hadir sebagaimana dirinya, yaitu pelayan umat manusia. Sedangkan manusia, dalam konteks ini masyarakat, hadir sebagai substansi yang bersifat ahistoris dan universal. Hal inilah yang kemudian menjadikan positivisme menuai berbagai kritik.

Tulisan ini hadir sebagai kajian filosofis sekaligus kritik atas salah satu cabang ilmu akuntansi, yaitu Green Accounting yang dianggap telah jauh terjatuh ke dalam lembah positivisme. Pendekatan filsafat diharapkan mampu membuka tabir realitas agar pembaca, sebagai manusia, memahami secara konkrit kondisi yang dihadapi hari ini.

ISI

RENNAISSANCE DAN RASIO INSTRUMENTAL
Awal abad ke-14 adalah masa ketika manusia mulai mempertanyakan segala mitos yang membelenggunya. Mitos dapat diartikan sebagai semua kuasa di luar kendali akal budi manusia. Oleh karena itu, kasadaran manusia terhadap kerja akal budi/rasio membuatnya mencoba untuk mereduksi realitas ke dalam rasio atau biasa disebut rasionalisasi. Hal ini diperkuat dengan kemunculan para filsuf dengan jargon-jargon yang juga mengglorifikasi kinerja rasio. Sebut saja Rene Descartes, Immanuel Kant, G.W.F Hegel, dan masih banyak lagi filsuf yang mencoba menempatkan akal budi manusia sebagai alat terpenting untuk mencari satu kebenaran dalam memahami realitas.

Perdebatan diawali oleh Rene Descartes yang menyatakan bahwa rasio/akal budi adalah satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memahami realitas. Kemudian dilanjutkan oleh Immanuel kant dalam karyanya Critique of Pure Reason (Kritik Atas Rasio Murni) yang menyatakan bahwa manusia sudah dibekali dengan ide-ide bawaan (rasio/akal budi) yang sudah memiliki batas-batas tertentu. Oleh karena itu, upaya manusia dalam memahami realitas tidak akan pernah keluar dari batas-batas yang ditetapkan dalam ide bawaan tersebut. Pendapat ini kemudian dikritik sekaligus direvisi oleh G.W.F Hegel yang menyatakan bahwa rasio/akal budi adalah proses yang berjalan positif secara terus menerus ke arah yang lebih baik dan selalu menuju kesempurnaan.

Tak dapat dipungkiri, penggunaan rasio dalam mendobrak mitos ini membawa manusia pada kemajuan zaman. Revolusi seni, industrialisasi, dan sistem birokrasi adalah produk-produk yang kemudian lahir dari upaya manusia untuk mendayagunakan akal budinya. Penggunaan rasio/akal budi untuk memahamirealitas telah membawa manusia kemajuan peradaban yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hanya terpaut kurang lebih 5 abad setelah bergemanya Rennaissance di Eropa, sudah nampak seperti apa kemajuan yang terjadi, khususnya di bidang industri. Dimulai dari industri berbasis uap, dilanjutkan dengan transportasi dan otomasi, kemudian komputasi, dan ditutup dengan digitalisasi.

Namun apakah kemajuan hadir tanpa konsekuensi bagi kehidupan manusia dan alam? Ternyata tidak. Industri berbasis uap dan perkembangan transportasi misalnya yang malah mencemari udara dengan produksi kadar karbon di udara yang meningkat dengan drastis setiap tahunnya. Kemudian komputasi dan digitalisasi yang kian merenggut sisi kemanusiaan dari manusia. Teknologi yang tadinya diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia malah balik menyerang dan membelenggu manusia. Untuk menguji validitas dari pernyataan ini cobalah untuk membayangkan bagaimana kehidupan seorang manusia sehari saja tanpa gawainya.

Corak pikir industrial yang selalu mendesak modernisasi sebagai upaya manusia untuk menundukkan mitos pada akhirnya akan menjebak manusia ke cangkang mitos yang lain. Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno misalnya, yang menggambarkan situasi ini dalam bukunya yang berjudul Dialectic of Enlighment. Keduanya memberikan berbagai contoh irrasionalitas yang terjadi dalam rasionalisasi peradaban. Misalnya ketika manusia mengembangkan berbagai mesin atau robot untuk mempermudah kehidupannya, pada akhirnya mesin-mesin tersebut sendirilah yang mengambil alih peran aktif manusia dalam peradaban. Atau ketika manusia mengembangkan teknologi handphone untuk mendekatkan yang jauh, namun pada akhirnya malah menjauhkan yang dekat. Upaya-upaya seperti inilah yang membuat Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno menyatakan bahwa gerakan Renaissance pada awalnya memang mencoba untuk memahami alam menggunakan rasio agar manusia terbebas dari mitos. Akan tetapi dalam
prosesnya, manusia akan selalu terjebak pada mitos-mitos yang lain. Oleh karena itu, modernisasi dan industrialisasi yang tadinya digembar-gemborkan akan membawa masyarakat pada bentuk yang paling rasional ternyata merupakan irrasionalitas yang terselubung.

JEBAKAN POSITIVISME
Lantas kemudian muncul pertanyaan, mengapa irrasionalitas yang bagaikan gajah di pelupuk mata malah luput dari pandangan kita? Jawabannya adalah karena hadirnya corak berpikir positivisme.

Postivisme secara etimologis berasal dari kata positivis, yang berarti faktual. Cara berpikir positivisme berarti corak pandang yang mereduksi alam semesta sebatas pada kenampakannya saja. Oleh karena itu, pengetahuan tentang segala sesuatuyang tidak tampil secara factual dianggap non-sense karena tidak dapat divalidasi. Selain itu, positivisme juga berasumsi bahwa alam semesta hadir dalam keteraturan dan telah berkesinambungan. Positivisme juga menganggap bahwa alam semesta memiliki “aturan main” sendiri, oleh karena itu sebagai bagian dari alam semesta manusia harus mengikuti semua aturan tersebut. Peran manusia direduksi sebagai sebatas mengamati kemudian merumuskan hukum-hukum tersebut. Pengetahuan diasumsikan akan selalu bersifat objektif. Konsekuensi logis dari hal ini adalah pengetahuan akan kehilangan dimensi historis dan sosialnya. Maksudnya, segala sesuatu dianggap sudah, dan akan selalu sama pada setiap konteks masyarakat dan zaman yang berlaku.

Pertautan antara logika positivisme dengan logika industri adalah, alam hadir sejauh cara manusia memahaminya, berdasarkan kondisi faktual yang nampak. Manusia memahami alam sebagaimana rasio instrumental yang menganggap bahwa alam hadir sebagai sumber sekaligus alat pemenuhan kebutuhan manusia. Oleh karena itu eksploitasi akan selalu disyaratkan, menimbang corak berpikir positivisme yang bersifat ahistoris, agar kebutuhan manusia dapat terus terpenuhi. Akibatnya, industri terjadi secara terus menerus tanpa tahu batas. Industri yang terus menerus pada akhirnya menjebak manusia pada apa yang disebut oleh Herbert Marcuse sebagai “Konsumerisme Modern”.

Konsumerisme modern adalah dampak dari era pasca industrial. Kegiatan memproduksi yang tadinya hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia kini malah berbalik mengontrol keinginan manusia. Keadaan ini diperparah dengan lahirnya manipulasi semiotik. Masyarakat pasca-industrial kerap kali dicekoki dengan iklan- iklan yang memanjakan mata sehingga tidak ada batas jelas antara keinginan dan kebutuhan. Hasilnya, manusia menjadi budak industri. Alam terus menerus dikeruk sedangkan manusia bagaikan terbutakan dalam tabir-tabir bernuansa positivis seperti “segala sesuatu sudah semestinya begitu”, “segalanya baik-baik saja, selama kebutuhan terpenuhi”, dan seterusnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa konsumerisme modern sebagai dampak dari era pasca- industrial telah membuat manusia teralienasi dari dimensi kemanusiaannya, menjadi budak industri dan pasar, terbagi ke dalam kelas-kelas yang berusaha untuk saling mengobjektivasi satu sama lain, dan seterusnya. Lantas dimakah peran ilmu pengetahuan, khususnya Green Accounting dalam menghadapi fakta yang sedemikian mengenaskan ini?

GREEN ACCOUNTING : JAWABAN ATAU JEBAKAN?
Green Accounting atau akuntansi hijau adalah cabang ilmu akuntansi yang membahas tentang bagaimana sebuah perusahaan membuka akun baru sebagai bentuk kontribusinya terhadap lingkungan yang telah terdampak industrialisasinya. Ide utama dari gagasan ini adalah bagaimana sebuah perusahaan menyisihkan beberapa persen keuntungan bersihnya untuk pembangunan kembali area atau wilayah yang terdampak terkena dampak dari aktivitas industri. Memang gagasan ini terkesan berpihak pada dimensi humanis dan ekologis. Tapi pada kenyataannya semua gagasan tentang penghijauan dan kemanusiaan ini hanyalah topeng agar industri dapat tetap berlangsung dan keuntungan dapat terus terakumulasi.

Social Resposibility yang digadang-gadang akan membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, akan mengembalikan hutan, dan seterusnya, adalah beberapa bentuk dari janji semu modernisasi. Industri menjanjikan kehidupan yang lebih baik dan lebih mudah bagi masyarakat di tangan kanan, sembari membabat habis hutan dan menyedot habis isi bumi di tangan kiri, adalah apa yang disebut oleh Max Horkheimer sebagai Irrasionalitas Terselubung. Selain itu, hadirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang berusaha menjaga eksistensi dari irrasionalitas tersebut adalah
apa yang disebutkan di awal sebagai corak berpikir positvisme. Melalui green accounting, corak berpikir positivisme menggiring kita pada kenyataan bahwa alam yang secara faktual dikeruk dapat diatasi dengan aktivitas yang bersifat faktual juga, yaitu penanaman kembali misalnya. Cara berpikir seperti ini membiaskan fakta bahwa yang bermasalah sebenarnya bukan pada aktivitas pengerukannya, tapi pada logika industrialisasinya.

Misalnya ketika sebuah tambang batu bara melakukan penimbunan kembali dan penghijauan di areal bekas pengerukan, apakah batu bara yang telah diambil akan dapat dengan cepat terbarukan? Tentu tidak. Bumi membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk memproduksi batu bara. Menutup kembali lubang galian, menanam kembali hutan, atau memberi santunan kepada warga sekitar areal tambang tidak akan mengembalikan apa yang telah diambil. Pada akhirnya industri akan kembali mencari daerah baru, membuka tambang baru, dan mengulang siklus yang sama.

Lalu apa yang kemudian terjadi ketika semua batu bara di muka bumi telah habis dikeruk? Atau apa yang kemudian terjadi ketika seluruh minyak bumi telah habis disedot? Dengan asumsinya yang bersifat ahistoris, maka corak berpikir Positivisme yang didukung oleh Rasio Instrumental tentu akan kembali pada jargon “Semua akan selalu baik-baik saja, selama kebutuhan manusia terpenuhi.”

DILEMA MAKHLUK RASIONAL
Lantas apa jadinya manusia tanpa industri? Apa jadinya manusia tanpa modernisasi? Apa jadinya manusia tanpa hubungan sosial Kapitalisme? Pada akhirnya manusia akan kembali dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya berada di luar kendali mereka. Inilah yang membuktikan bahwa upaya rasionalisasi melalui kapitalisasi, industrialisasi, otomasi, dan modernisasi hanya akan membawa manusia kembali pada buntunya irrasionalitas.

Namun agar tidak terjebak dalam pesimisme total, manusia seharusnya bertolak dari paradigma Positivis menuju paradigma kritis. Paradigma kritis adalah corak berpikir mencari kebenaran jauh hingga ke balik fakta. Oleh karena itu paradigma kritis selalu berusaha untuk menggugat sesuatu yang bersifat status-quo.

Begitupun dengan ilmu akuntansi. Diperlukan kajian akuntansi alternatif yang tidak hanya melakukan pemecahan-pemecahan faktual, tapi mencoba merumuskan nilai- nilai baru yang dianggap sebagai jawaban atas akar masalah yang tentu saja hadir jauh di balik fakta. Dengan itu, akuntansi tidak lagi terjebak dalam lembah positivisme yang sedari awal menjebak umat manusia dalam penjara kemewahan ini.

KESIMPULAN

Abad pencerahan yang pada awalnya menjajikan keadaan yang lebih baik pada manusia justru telah menjebak manusia dalam Rasio Instrumental. Rasio Instrumental adalah cara memahami alam sebagai alat/instrumen pemenuhan kebutuhan manusia. Akan tetapi rasio ini ternyata menjadi musuh dalam selimut yang hanya memberi janji-janji semu pada manusia. Pada kenyataannya, manusia malah di dehumanisasi dan dikaburkan pandangannya dalam melihat realitas.

Dehumanisasi dan distorsi terhadap realitas ini hadir sebagai konsekuensi logis atas lahirnya masyarakat konsumersime modern. Konsumerisme modern melahirkan intrumen bernama positivisme yang mereduksi realitas hanya pada domain faktualnya. Hasilnya, manusia ditumpulkan nalar berpikirnya karena realitas yang nampak seakan-akan akan selalu menyimpan kebenaran jauh di balik faktanya.

Green Accounting atau akuntasi hijau adalah salah satu produk turunan dari corak berpikir positivisme. Gagasan ini dinarasikan seolah-olah berpihak pada kemanusiaan dan alam. Padahal faktanya, semua hanyalah selubung agar kegiatan industri dapat terus berlanjut dan keuntungan dapat terus diakumulasikan.

Oleh karena itu agar tidak terjebak dalam pesimisme total dalam memandang realitas, diperlukan kajian akuntansi alternatif dengan paradigma kritis untuk memahami realitas secara utuh hingga ke akar fakta. Setelah memahami realitas hingga ke balik domain factual barulah manusia dituntut untuk mengambil sikap, apakah mereka nyaman dengan status-quo atau hendak mendesak transformasi sosial.

Daftar Pustaka

Anna Kurniawati, Alexander Seran, Ridzki Rinanto Sigit. (2010). Teori Kritis dan Dialektika Pencerahan Max Horkheimer. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10(2), 124-135.
Aukema, J. (2023). Degrowth Justru Melanggengkan Kapitalisme, Bukan Melampauinya. Indoprogress.Bottomore, T. (2019). Mazhab Frankfurt : Gagasan dan Kritik. Yogyakarta: Penerbit Independen.
Pontoh, C. H. (2021). Dua Pendekatan Penyelesaian Krisis Ekologi. Indoprogress.
Pontoh, C. H. (2022). Kapitalisme, Kelas Kapitalis dan Krisis Ekologi. Indoprogress.
S, I. (2022). Konsumsi: Konsekuensi Alienasi dan Absurditas Masyarakat Modern. LSF Discourse.
Saputri, M. E., Kusuma, I. C., & Holida, N. (2023). Ketidakpastian Dan Risiko Yang Dialami Masyarakat Di Era Modernisasi. Jurnal Insan Pendidikan dan Sosial Humaniora, 1(2), 131-144.
Sholahudin, U. (2020). MEMBEDAH TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT : Sejarah, Asumsi, dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Teori Ilmu Sosial. Journal of Urban Sociology, 3(2), 71-89.