Kembali

Perempuan dan Pemburuan Penyihir

Buku ini menceritakan tentang adanya pengadilan penyihir yang digunakan sebagai alat untuk mengontrol tubuh perempuan dan mempercepat perkembangan kapitalisme pada masa transisi antara feodalisme menuju kapitalisme. Perempuan dijadikan target utama persekusi karena merekalah yang paling terdampak kemiskinan akibat kapitalisasi kehidupan ekonomi sehingga melahirkan populasi pengemis dan gelandangan yang menjadi ancaman tatanan kapitalis yang sedang berkembang. Persekusi terhadap perempuan dengan tuduhan sebagai penyihir jahat dilakukan untuk melancarkan proses perkembangan awal kapitalisme. Lebih dari 600 ribu orang yang menjadi korban, 85% diantaranya adalah perempuan. Mereka ditangkap dan dieksekusi, ada yang melalui proses pengadilan dan juga banyak yang tidak yaitu diseret ke lapangan untuk dieksekusi dandi bakar hidup-hidup.

Di buku ini juga menjelaskan bahwa penyihir tidak seperti yang kita kenal yaitu penyihir kita digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang jahat dengan wajah menakutkan. Istilah penyihir sebenarnya merujuk pada perempuan petani yang juga seorang tabib (dukun beranak) yang membantu perempuan lain dalam persalinan atau pengguguran kandungan. Mereka dikenal memiliki kekuatan supranatural. Sehingga perempuan memiliki peran sosial yang berpengaruh karena dianggap memiliki kontrol atas reproduksi perempuan dan penguasaannya terhadap pengetahuan alam.

Pemagaran tanah adalah  penyebab utama terjadinya perburuan penyihir. Bagaimana tidak, tanah yang semula bersifat komunal, kemudian diprivatisasi menjadi usaha komersial. Hingga akhirnya lambat laun perempuan termarjinalkan, karena sebelumnya mereka punya hak terhadap tanah komunal tersebut. Secara tidak langsung upaya pemagaran tanah atau pemberian batas atas tanah komunal mengakhiri hak-hak adat dan mengusir petani, serta penghuni liar yang bergantung pada tanah untuk keberlangsungan hidupnya. Akibat pemagaran, para perempuan kehilangan akses mereka atas sumber penghidupan, yaitu tanah. Para perempuan tua kemudian menentang tindakan tersebut, karena mereka masih mewarisi ingatan komunalisme dan tak akan bisa apa-apa ketika tanah sebagai sumber penghidupan mereka telah dirampas. Sebagai bentuk perlawanan, mereka menyebarkan hasutan kepada warga lain tentang ketidakadilan yang dilakukan penguasa dan tuan tanah, serta melakukan berbagai ancaman dan melempatkan tatapan mencela kepada yang telah tidak adil kepadanya.

Di Bab I dan Bab II, buku ini membahas  tentang hubungan persekusi perempuan dari Abad 14 hingga Abad 16 di Eropa yang dibenturkan dengan permasalahan marjinalisasi perempuan penyihir dengan konteks kondisi ekonomi politik di abad ke 21.