Perguruan Tinggi Untuk Siapa Saja?
1. Neoliberalisme
"Neoliberalism" pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada tahun 1898 oleh ekonom Prancis, Charles Gide, untuk menggambarkan perspektif ekonomi ekonom Italia, Maffeo Pantaleoni, dengan istilah "Néo-libéralisme" yang berasal dari bahasa Prancis yaitu kebebasan baru. “The Great Depression” menjadi perkara awal hadirnya Neoliberalisme, gagalnya langkah rekonstruksi ekonomi Keynesian pada saat itu mendorong sekelompok intelektual liberal untuk membenahi perekonomian, di antaranya Walter Lippmann, Friedrich August Hayek, Ludwig von Mises, Wilhelm Röpke, Alexander Rüstow, dan Louis Rougier, mengadakan sebuah konferensi di Prancis pada Agustus 1938 yang dikenal dengan “Walter Lippmann Colloquium”. Neoliberalisme semakin berkembang setelah didirikannya “Mont Pelerin Society” pada tahun 1947, yang anggota pendirinya termasuk Friedrich August Hayek, Milton Friedman, Karl Popper, George Stigler, dan Ludwig von Mises.
Ada beragam pemaknaan mengenai Neoliberalisme, salah satunya:
“A viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises, minimal government intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic policies rather than a political economy perspective”.
"Pandangan yang mendukung kembali kebijakan ekonomi yang dianjurkan oleh liberal klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi perusahaan milik pemerintah, intervensi pemerintah yang minimal, dan pasar internasional yang terbuka. Berbeda dengan liberal klasik, neoliberalisme terutama merupakan agenda kebijakan ekonomi daripada perspektif ekonomi politik". (Balaam, David N.; Veseth, Michael. 2005)
Maka dapat dikonklusikan bahwa Neoliberalisme merupakan sebuah struktur material reproduksi sosial, ekonomi, dan politik yang didukung oleh finansialisasi. Dalam hal ini, neoliberalisme adalah fase, tahap, atau mode keberadaan kapitalisme saat ini.
2. Neoliberalisme Pendidikan
Menurut Tan Malaka, pendidikan adalah sebuah usaha untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan ketidaktahuan, menjadikan hidup lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan sekitarnya, tidak ada lagi kasta dan pembeda kelas-kelas. Pendidikan menjadi hal yang fundamental bagi kehidupan manusia, maka dari itu institusi pendidikan seperti universitas pun seharusnya menjadi moda pendistribusian ilmu pengetahuan bagi seluruh kalangan. Namun beda halnya dalam Neoliberalisme, yang menjadikan eksklusivitas pendidikan menjadi nyata. Dan juga menghegemoni produksi ilmu pengetahuannya.
Universitas dapat diintegrasikan ke dalam aparatus ideologi negara yang disebut "sekolah" (Althusser, Louis. 2006), sehingga secara historis berkontribusi pada reproduksi kapitalisme. Hal ini tentu dapat menjadi refleksi bagi kita, bagaimana kita terhegemoni oleh sistem yang mengglobalisasi dan tak dapat terhindarkan ini. Kita berada dalam suatu bentuk ‘kesadaran’ yang telah menutup nalar kita terhadap realitas kini. Imbasnya, beragam komodifikasi yang hadir dan menjerat kita tak mampu kita antisipasi, malahan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa inilah bentuk dari ‘kemajuan peradaban’.
Inovasi tidak dianggap secara historis, seperti yang terjadi saat ini, sebagai 'ilmu yang diterapkan' pada industri yang berkaitan erat dengan Universitas sebagai institusi untuk produksi dan penyebaran ilmu pengetahuan. Bahkan pada akhir abad ke-19, para pemikir menganggap inovasi tidak sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan industri, tetapi ilmu pengetahuan dengan seni yang berguna (Godin, Benoit. 2014).
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Godin, ilmu pengetahuan hari ini hanyalah bagian dari alat penunjang bagi kapitalis untuk mengakumulasi modal, mengekspansi wilayah, dan utamanya mengeksploitasi alam juga para pekerja. Hal yang terpampang nyata ialah komodifikasi pendidikan, memperlakukan pendidikan sebagai komoditas yang dapat dijual dan dibeli, daripada sebagai hak dasar manusia. Ini dapat mengubah tujuan pendidikan dari pencapaian keadilan sosial menjadi pencapaian keuntungan finansial.
3. Praktik Neoliberalisme di Universitas Hasanuddin
Seperti yang sudah disebutkan pada poin sebelumnya bahwa Neoliberalisme Pendidikan Tinggi meniscayakan komodifikasi pendidikan, melihat realitas terkini tak dapat dipungkiri kita juga harus merasakannya. Universitas Hasanuddin, tempat di mana kita menimba ilmu merupakan bagian dari Neoliberalisasi Pendidikan juga. Pertama mengenai keabsahan Universitas Hasanuddin sebagai instansi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, hal ini mengindikasikan bahwa Unhas memiliki hak otonom dalam penentuan regulasi yang diterapkan.
Hak otonom dalam konsep PTN-BH sendiri dimaknai sebagai bentuk ‘kemandirian’ sebuah instansi dalam pengelolaannya. Kebijakan ini membuka peluang Unhas untuk bergerak layaknya perusahaan dengan orientasi profit. Salah satu regulasi terbaru yang dikeluarkan ialah Keputusan Rektor Universitas Hasanuddin Nomor 02194/UN4.1/KEP/2023 perihal penetapan Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru tahun akademik 2023/2024 yang semakin meningkat. Peningkatan UKT ini semakin memperkecil kesempatan masyarakat dengan penghasilan rendah untuk mengakses pendidikan.
Privatisasi atas pendidikan semakin tak terelakkan, hanya orang-orang berkecukupan yang dapat merasakannya. Adapun jaminan pendidikan berupa Kartu Indonesia Pintar (KIP) kerap kali mengalami hambatan pencairan dana. Instansi dengan nama sebesar Unhas juga pasti akan mendatangkan ketertarikan kerjasama dari pihak luar untuk melakukan riset penelitian ataupun proyek pembangunan guna menunjang kepentingan golongan tertentu saja.
Melihat realitas hari ini, pendidikan pun terkondisikan oleh sistem dan memberikan represi untuk bekerja di bawah kendalinya. Ini bukanlah sebuah akhir untuk segalanya, kondisi yang hadir pada saat ini pasti akan menemukan akhirnya kelak, sebuah alternatif telah ditawarkan sebagai counter hegemoni atas sistem ini. Pendidikan yang sesungguhnya menyelamatkan manusia dari jurang kenihilan pengetahuan, bukan menjadikannya suatu komoditas eksklusif yang hanya dapat menyelamatkan kalangan tertentu dan melayani para pemilik modal saja.