Kembali

Memaknai Hari Buruh: Menelisik Posisi Mahasiswa Dalam Relasi Kelas Sosial

Mahasiswa: calon tenaga kerja atau buruh akademik?

Caruk maruknya narasi terkait perguruan tinggi, baik itu Neoliberalisasi Perguruan Tinggi, Komersialisasi Pendidikan, Kampus pencetak calon buruh, dan sebagainya. Saking seringnya, kita dapat dengan mudah mendapatkan isu-isu tersebut diberbagai platform media sosial. Adalah kondisi intitusi pendidikan (universitas) yang seolah hanya hasil dari pengaruh kondisi ekonomi-politik dan sebagai pencetak calon buruh untuk dimasukkan ke industri. Tidak ada yang salah dalam hal ini, hanya saja mesti menelisik kembali bagaimana relasi kelas sosial bekerja pada ranah pendidikan dan bagaimana universitas juga sebagai modus produksi berdasar basis material yang ada di dalamnya serta bagaimana buruh akademik tidak hanya dilekatkan pada tendik dan dosen tapi juga pada mahasiswa itu sendiri sebagai pencipta nilai dalam produksi di tingkat perguruan tinggi.

Pada awalnya perguruan tinggi hanya menyediakan sarana pendidikan, kini mahasiswa yang menjadi sarang dalam mengumpulkan nilai komoditas. Berdasarkan data per februari 2024 menyebutkan bahwa top 10 PTN di Indonesia memperlihatkan nilai yang bersaing. Pada urutan pertama ada dalam rumpun Saintek di Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin yakni sebesar Rp. 25.000.000 per semester. Kemudian disusul dengan Universitas Gadjah Mada dan Universitas dan Universitas Padjajaran dengan rumpun yang sama yakni sebesar Rp. 24.000,000. Perguruan tinggi dianggap sebagai modus produksi karena proses produksi pendidikan yang dilakukan di dalamnya menghasilkan nilai komoditas. Perguruan tinggi menjual jasa pendidikan kepada mahasiswa dengan menghasilkan berbagai macam komoditas, seperti proses pencerdasan, pelatihan keterampilan, dan penerimaan ijazah. Pendidikan dipandang sebagai barang yang dihasilkan dan dijual oleh perguruan tinggi kepada mahasiswa, yang kemudian dapat digunakan untuk pertukaran dengan keuntungan lain di pasar tenaga kerja. Namun, ada prasyarat yang mesti dipenuhi oleh universitas sebelum menjual pendidikan tinggi kepada mahasiswa—tidak lain, legalitas pendirian dan akreditasi universitas. Pertanyannya, apa nilai yang benar-benar diperoleh oleh universitas dari mahasiswanya? apakah hanya sekadar biaya kuliah? tentu tidak, masih banyak hal lain yang menjawab mengapa mahasiswa juga masuk dalam kategori buruh akademik.

Sebelum membahas bagaimana mahasiswa juga dapat dimasukkan ke kategori buruh, pertama-tama, kita akan membahas bagaimana sirkuit produksi yang terjadi dalam universitas. Telah dibahas di atas, bahwa ada dua prasyarat yang dipenuhi universitas sebelum menjual jasa pendidikan ke mahasiswa, legalitas pendirian dan akreditasi universitas. Legalitas pendirian setidaknya memenuhi tiga kriteria yang dipenuhi, (1) Kurikulum, (2) Dosen, (3) Unit Pengelola Program Studi. Pada ketiga kriteria ini, kita hanya membahas kriteria pertama, Kurikulum, hal yang sangat dekat dengan mahasiswa—karena fokusan kita pada mahasiswa sebagai buruh akademik, dengan meyakinkan prodi tersebut mampu memenuhi kebutuhan lulusan dan pasar. Uraiannya sebagai berikut: visi-misi-tujuan-sasaran (VMTS), profil lulusan, capaian pembelajaran lulusan, struktur kurikulum, mata kuliah berikut uraian bahan kajiannya, capaian pembelajaran mata kuliah, kriteria penilaian, sampai ke teknik, metode, dan sarana prasarana pelaksanaan. Pada kriteria pertama ini mencakup standar-standar universitas dalam menghasilkan lulusan mahasiswa sekaligus menjadi prasyarat menyelenggarakan suatu prodi. Pada kriteria pertama perlu dilihat sebagai sirkuit produksi. Alih-alih membentuk intelektual kritis, masyarakat ilmiah, keterampilan, dan sebagainya; Universitas hanya memenuhi dan mencapai standar-standar yang dijanjikan pada kriteria pertama (kurikulum) untuk mempertahankan dan meningkatkan akreditasi kampus. Dengan kata lain, nilai dari komoditas pendidikan mahasiswa dari perspektif universitas adalah untuk menjamin kesinambungan aset legalitas keberadaan prodi tersebut. Artinya, universitas harus mempekerjakan dan menyelia buruh-buruhnya untuk bisa bahu-membahu sebagai keluarga besar almamater untuk mencentang semua poin-poin standar di kriteria pertama kurikulum tersebut.

Dari skema akreditasi di atas, mahasiswa tidak hanya sekadar konsumen. Relasi mahasiswa dan universitas lebih kompleks dari penjual dan pembeli. Kita melihat di sini, dengan menjadi mahasiswa–yaitu, dengan menjadi konsumen pendidikan tinggi, mahasiswa bertransformasi menjadi produsen nilai-nilai yang menyumbang kapitalisasi aset akreditasi bagi kampus. Mahasiswa menjadi buruh sekaligus konsumen komoditas itu sendiri. Uniknya, ketika buruh lagi menjual tenaganya untuk dibayar demi memenuhi kebutuhan hidup, mahasiswa justru membayar untuk bisa mendapatkan posisinya sebagai konsumen pendidikan tinggi sekaligus harus mempertahankan dan meningkatkan akreditasi universitas sebagai komoditasnya. Dengan kata lain, mahasiswa dipekerjakan secara masif tanpa pemberitahuan sedari awal dan dihisap nilai-lebihnya melalui pertisipasinya dalam pendidikan yang diselenggarakan universitas.

Oleh karenanya, penting melihat posisi mahasiswa dalam relasi sosial hari ini melalui penelisikan basis material yang ada dalam Universitas. Bahwa mahasiswa, sadar atau tidak, juga tergolong dalam “buruh” dan seharusnya turut memperjuangkan politik kelas pekerja sampai menang. Posisi mahasiswa tidak lagi dipandang berbeda dengan buruh-buruh yang ada sebagai tendik dan dosen, buruh pabrik, buruh kreatif, dll; Hanya saja yang membedakannya ialah bentuk ekploitasinya, semisal buruh pabrik akan berbeda bentuk ekspoitasinya dengan buruh tendik, begitu pula buruh tendik akan berbeda bentuk ekspoitasinya dengan mahasiswa. Tapi terbungkus dalam satu modus produksi yang sama, ialah Kapitalisme. Oleh karena itu, tulisan ini setidaknya mencoba memantik pembaca (sesama mahasiswa) untuk bersama-sama dalam mencapai arah tujuan politik dari kelas pekerja itu sendiri.