Kembali

Apakah Suistainability Accounting Menjadi Solusi?

Hadirnya Suistainability accounting tentunya dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi saat ini dan prediksi keberlanjutan lingkungan social di dunia. Berdasarkan laporan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) 2021, Indonesia masih tercatat sebagai salah satu dari tiga negara dengan risiko bencana lingkungan tinggi, terutama banjir dan panas ekstrem. ADB juga mencatat bahwa pada 2050, kenaikan suhu di Indonesia berkisar 0,80 derajat Celcius hingga 1,40 derajat Celcius. Catatan serupa juga dilaporkan oleh NASA Goddard Institute for Space Studies. Jumlah total hari-hari dengan temperatur di atas 50°C meningkat setiap tahun di empat dekade terakhir. Sebanyak 1,2 miliar orang di seluruh dunia bisa menghadapi kondisi tertekan akibat panas ekstrem pada 2100 apabila laju pemanasan global terus terjadi seperti sekarang, menurut penelitian dari Universitas Rutgers yang diterbitkan tahun 2020 lalu.

Tentunya ada yang menyebabkan atau mempercepat peristiwa atau fenomena tersebut. Salah satunya yaitu penggunaan bahan bakar fosil secara berlebih yang dilakukan oleh manusia, dan tentunya perusahaan-perusaahaan besar penghasil emisi gas rumah kaca, pembangunan yang membabat lahan hijau, perubahan fungsi hutan, dan masi banyak lagi.

Berdasarkan fenomena-fenomena diatas maka hadirlah sebuah solusi alternatif di bidang akuntansi yaitu Akuntansi Keberlanjutan. Akuntansi berkelanjutan merupakan salah satu bidang ilmu akuntansi modern. Bidang ilmu ini menganalisis dampak bisnis terhadap sosial dan lingkungan. Dimana bentuk pengungkapan aksi sosial dan lingkungan dilakukan perusahaan melalui Environmental, Social, and Governance Report (ESG Report) yang disusun oleh akuntan. setiap perusahaan yang berhubungan langsung dengan Sumber daya alam diwajibkan untuk melaporkan tanggung jawab social dan lingkungannya. Dalam Pasal 74 Undang-Undang tersebut diatur tentang kewajiban pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Pelaporan ESG terkait erat dengan citra, merek, dan reputasi perusahaan (Ismail et al., 2019), dan nilai-nilai keberlanjutan tersebut lebih dihargai daripada nilai-nilai lain oleh kaum milenial (Smith & Brower, 2012; Brown & Vergragt, 2016).

Namun, yang menjadi permasalahan adalah siapakah yang mengukur atau menilai ESG Report dari sebuah perusahaan tersebut? Dan apakah ada standar yang tepat mengatur tentang biaya-biaya social dan lingkungan?. Dan Sekalipun terdapat standar dan aturan mengenai perhitungan biaya-biaya sosial dan lingkungan. namun, mengukur keberlanjutan adalah hal yang rumit. Sebagian besar informasi yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan perusahaan disediakan oleh perusahaan itu sendiri, dan tidak selalu diaudit. Ini membuatnya sangat berbeda dari informasi keuangan, yang tunduk pada audit terperinci. Dalam hal kinerja keberlanjutan perusahaan yang sebenarnya sulit diukur secara akurat dikarenakan sulitnya diukur dalam unit moneter.

Dan jika benar praktik suistainability itu mampu mengatasi keberlanjutan lingkungan mengapa fenomena-fenome lingkungan ini malah semakin meluas dan meningkat, dimana aturan tersebut telah dibuat sejak tahun 2007 dan fenomena yang saya ceritakan diatas terjadi di tahun 2020-an. Lantas apakah suistainability accounting benar-benar menjadi solusi untuk keberlanjutan lingkungan? Atau malah menjadi alat perusak lingkungan yang mainkan oleh oknum-oknum tidak bertangung jawab?

Mari kita berpikir Bersama.