Review ORIENTASI 2024
Carbon Emission : Climate Change and Carbon Tax
Climate change tidak dapat dipisahkan dari emisi karbon. Upaya untuk menurunkan emisi karbon merupakan usaha untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif climate change.
Climate Change merupakan masalah global yang memiliki dampak ireversibel pada semua sektor pembangunan dan menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup jutaan orang. Jika masalah ini tidak diatasi sejak dini maka stabilisasi gas rumah kaca (GRK) akan semakin menantang dan dampak climate change tidak akan terhindarkan.
Selain itu “ The Cost of Inaction” akan terlalu tinggi untuk ditangani dan menempatkan beban yang luar biasa pada generasi mendatang.
Climate Change - Regulation
- Ada berbagai instrumen kebijakan yang dapat digunakan negara-negara untuk menurunkan emisi negara-negara tersebut dan pada akhirnya beralih dari ekonomi berbasis bahan bakar fosil ke ekonomi rendah karbon ( Fosil Fuel- based to low carbon economy ).
- Untuk mencapai enviromental excellence diperlukan command and control regulatory approaches dan juga market instrumens seperti perpajakan dan insentif.
- Regulasi dapat efektif untuk menentukan arah dan menetapkan target nasional. Namun, tidak seperti instrumen pasar, pendekatan regulasi tidak mempertimbangkan efektivitas biaya (cost effectiveness) dan berbagai langkah pengurangan emisi (emision reduction measures) dan oleh karena itu bisa sangat mahal.
Estimasi Kerugian Climate Change
- Thomson Reuters Foundation (2020) memberikan estimasi kerugian akibat climate Change ( perubahan iklim) sebesar 8 milyar USD setiap harinya. Jumlah tersebut berasal dari biaya pengobatan penyakit, ketidakmampuan untuk bekerja dan kebutuhan akan peralatan medis
- Loh dan Stevenson (2008), kerugian yang ditimbulkan oleh climate change mencapai 5% dari GDP global per tahun.
- Lohmann, 2006, dampak negatif climate change bukan hanya tidak dapat dibalik (irreversible) tetapi hanya dapat diminimalkan ( Lohmann, 2006)
Dua istilah dalam Climate Change
Terdapat 2 istilah yang berkaitan erat dengan Climate Change yaitu :
1. Mitigasi Climate Change yaitu penurunan atau pengurangan emisi karbon yang menjadi penyebab utama climate change, berdasarkan target tertentu pada sektor terpilih (OECD, 2008)
Program mitigasi climate change mempunyai hubungan erat dengan sektor kehutanan dan energi walaupun tidak menutup kemungkinan juga terkait dengan sektor yang lain seperti pertanian, transportasi dan Industri. Contoh program mitigasi climate change yaitu rehabilitasi hutan sehingga dapat membantu penyerapan karbon oleh alam.
Adaptasi climate charge merupakan upaya untuk mengurangi dampak yang mungkin muncul akibal climate change OECD 2014).
Program adaptasi meniti kberatkan kepada penguatan fasilitas infrastruktur masyarakat guna meredam dampak perubahahan ikim. Contoh program adaptasi climate change yaitu memperbaiki drainase sebagai antisipasi terjadinya banjir.
1. Cakupan 1 ( Emisi Langsung )
Emisi GRK (Cakupan 1) langsung meliputi, tetapi tidak terbatas pada, emisi CO, dari konsumsi bahan bakar seperti yang dilaporkan dalam Pengungkapan 302-1 of GR/ 302: Energi 2016.
Emisi GRK (Cakupan 1) langsung dapat berasal dari sumber-sumber berikut yang dimiliki atau dikendalikan oleh sebuah organisasi :
- Pembangkitan listrik, pemanasan, pendinginan dan uap: emisi-emisi ini dihasilkan dari pembakaran bahan bakar dalam sumber-sumber tidak bergerak, seperti boiler, tungku, dan turbin – dan dari proses pembakaran lain seperti pembakaran gas suar,
- Pengolahan fisik atau kimia: sebagian besar emisi ini hasil dari produksi atau pengolahan bahan kimia serta material-material, seperti semen, baja, aluminium, amonia, dan pengolahan limbah
- Transportasi material, produk, limbah, pekerja, dan penumpang: emisi ini dihasilkan dari pembakaran bahan bakar pada sumber pembakaran bergerak yang dimiliki atau dikendalikan oleh organisasi, seperti truk, kereta api, kapal, pesawat, bus, dan mobil;
- Emisi fugitif : ini adalah emisi yang tidak secara fisik dikendalikan tapi merupakan hasil pelepasan GRK sengaja atau tidak sengaja. Hal ini dapat mencakup kebocoran dari sambungan, segel, kemasan, dan gasket; emisi metana (misalnya, dari tambang batu bara) dan ventilasi; emisi HFC dari lemari pendingin dan peralatan pendingin udara, dan kebocoran metana (misalnya, dari transportasi gas).
2. Cakupan 2 ( Emisi Tidak Langsung dari Energi yang Dibeli)
Emisi energi GRK (Cakupan 2) tidak langsung meliputi, tetapi tidak terbatas pada, emisi CO, yang timbul dari listrik, pemanasan, pendinginan, dan tenaga uap yang dibeli atau didapatkan yang dikonsumsi oleh organisasi – diungkapkan sebagaimana dijelaskan dalam
Pengungkapan 302-1 of GRI 302: Energi 2016. Bagi banyak organisasi, emisi energi GRK (Cakupan 2) tidak langsung yang dihasilkan dari pembangkitan listrik yang dibeli bisa jauh lebih besar daripada emisi GRK (Cakupan 1) langsung mereka.
Pedoman Cakupan 2 Protokol GRK’ mewajibkan organisasi untuk menyediakan dua nilai Cakupan 2 berbeda: nilai berdasarkan lokasi dan nilai berdasarkan pasar. Metode berdasarkan lokasi mencerminkan intensitas emisi GRK rata-rata dari jaringan listrik tempat terjadinya konsumsi energi, dengan menggunakan sebagian besar data faktor emisi rata-rata jaringan listrik. Metode berdasarkan pasar mencerminkan emisi dari listrik yang sengaja dipilih organisasi (atau karena tidak adanya pilihan). Metode ini menghasilkan faktor emisi dari instrumen kontrak, yang meliputi jenis kontrak antara dua pihak untuk penjualan dan pembelian energi yang digabungkan dengan atribut untuk menghasilkan energi, atau klaim untuk atribut bukan gabungan.
3. Cakupan 3 ( Emisi Tidak Langsung Lainnya)
Emisi GRK (Cakupan 3) tidak langsung lainnya adalah konsekuensi dari kegiatan organisasi, tetapi muncul dari sumber yang tidak dimiliki atau dikendalikan oleh organisasi. Emisi GRK (Cakupan 3) tidak langsung lainnya termasuk emisi hulu dan hilir. Beberapa contoh kegiatan Cakupan 3 termasuk mengekstraksi dan memproduksi material yang dibeli; mengangkut bahan bakar yang dibeli pada kendaraan yang tidak dimiliki atau dikendalikan oleh organisasi; dan penggunaan akhir produk dan jasa.
Emisi tidak langsung lainnya juga dapat berasal dari penguraian limbah organisasi. Emisi yang terkait proses selama pemanufakturan barang yang dibeli dan emisi fugitif di fasilitas yang tidak dimiliki oleh organisasi juga dapat memproduksi emisi tidak langsung.
Bagi beberapa organisasi, emisi GRK yang dihasilkan dari konsumsi energi di luar organisasi bisa jauh lebih besar daripada emisi GRK (Cakupan 1) langsung atau emisi energi GRK (Cakupan 2) tidak langsung mereka.
Organisasi pelapor dapat mengidentifikasikan emisi GRK (Cakupan 3) tidak langsung lainnya dengan menilai emisi kegiatan yang mana yang :
- Berkontribusi secara signifikan terhadap emisi GRK (Cakupan 3) tidak langsung lainnya yang diantisipasi secara total oleh organisasi
- Menawarkan potensi pengurangan yang dapat dilakukan atau dipengaruhi organisasi
- Berkontribusi terhadap risiko terkait perubahan iklim, seperti keuangan, regulasi, rantai pasokan, produk dan pelanggan, litigasi, dan risiko reputasi, masyarakat sipil
- Dianggap material oleh pemangku kepentingan, seperti pelanggan, pemasok, investor
- Merupakan hasil dari kegiatan pengalihdayaan yang sebelumnya dilakukan internal, atau yang biasanya dilakukan internal oleh organisasi lain dalam sektor yang sama
- Telah diidentifikasikan sebagai signifikan untuk sektor organisasi
- Memenuhi kriteria tambahan untuk menentukan relevansi, yang dikembangkan oleh organisasi atau oleh organisasi dalam sektornya
Carbon Tax Pengurangan Emisi
Carbon tax adalah solusi yang mungkin meskipun tidak sempurna.
Carbon tax diperkenalkan di Indonesia dalam upaya untuk mengendalikan climate change dan memerangi pemanasan global. Pajak mulai berlaku mulai 1 April 2022 untuk sektor PLTU batubara. Peraturan mengenai carbon tax diatur dalam yang disahkan pada 7 Oktober 2021 dalam Rapat Paripurna DPR
Carbon tax adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar fosil seperti bensin, avtur, gas, dan lain-lain. Sederhananya, pajak ini akan dikenakan kepada mereka yang menggunakan bahan bakar tersebut.
Tujuan Pengenaan Carbon Tax
- Mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon
- Mendukung target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang
- Mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan
Pro Kontra Carbon Tax
Para ekonom berpendapat bahwa carbon tax adalah kebijakan yang kuat dan efektif untuk mengurangi emisi. Bahkan dapat menjadi titik masuk untuk merestrukturisasi berbasis bahan bakar fosil yang sangat bersubsidi Namun demikian, kebijakan pajak tidak pernah populer secara politik. Hal ini karena memiliki implikasi ekonomi yang cukup besar terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah. Lebih banyak pajak akan mengikis daya saing industri dalam jangka pendek. Namun manfaat jangka panjang bagi ekonomi dan lingkungan lebih besar daripada kerugiannya.
Para pendukung carbon tax harus dapat mengkomunikasikan ide-ide mereka dengan lebih baik dengan menunjukkan dengan jelas bagaimana carbon tax akan mempengaruhi rumah tangga dan industri berpenghasilan rendah dalam beberapa tahun pertama setelah pengenalan kebijakan dan bagaimana pendapatan dari carbon tax akan dikembalikan kepada individu dan bisnis.
Kebijakan Climate Change di Indonesia
Indonesia memiliki kebijakan yang ambigu dalam mengatasi climate change :
Di satu sisi, Indonesia telah mengambil sikap ambisius dengan mengejar target volunter untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26 persen pada tahun 2020 dan tambahan 15 persen dengan bantuan intemasional. Di sisi lain, Indonesia telah menghabiskan dan terus menghabiskan sejumlah besar uang untuk bahan bakar fosil dan subsidi listrik. Subsidi tersebut sebesar US$ 18,3 miliar atau 30 persen dari total APBN tahun 2011 saja. Pada tahun berikutnya, pengeluaran untuk subsidi bahan bakar membengkak menjadi $ 24 miliar, lebih dari dua kali lipat pengeluaran untuk kesehatan masyarakat.
Bahan bakar fosil adalah sumber utama emisi gas rumah kaca antropogenik, penyebab utama di balik pemanasan global. Mensubsidi penggunaan bahan bakar fosil sama sekali tidak dapat dibenarkan. Selain itu, subsidi bahan bakar fosil adalah batu sandungan terbesar untuk pengembangan energi terbarukan, jawaban atas tantangan climate change.
Oleh karena ambiguitas di atas, maka Indonesia telah mempertimbangkan untuk menerapkan carbon tax.
1. Diskusi carbon tax dimulai pada tahun 2009 tetapi belum memasuki debat publik yang lebih luas hingga saat ini karena prioritas lain
2. Kementerian Keuangan mengklaim bahwa menempatkan harga pada karbon adalah kebijakan yang harus diadopsi Indonesia karena sejumlah alasan:
- adalah strategi mitigasi climate change yang efektif
- memberikan pendapatan yang signifikan yang dapat menyelesaikan masalah defisit anggaran
- dapat dilakukan bersamaan dengan penghapusan subsidi bahan bakar fosil untuk mencapai ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan
Oleh karenanya kebijakan carbon tax harus dirancang dengan cermat.
- Tahun demi tahun, Indonesia telah menghadapi masalah def sit anggaran terutama karena tingginya subsidi bahan bakar fosil
- Indonesia berjuang untuk menjaga def sit anggaran di bawah ambang batas hukum 3 persen dari produk domestik bruto (PDB)
- Mengurangi def sit anggaran dengan meminjam menjadi tantangan karena akan menyebabkan peningkatan utang luar negeri
- Carbon tax dapat mengurangi def sit anggaran dan memberikan sinyal harga yang jelas untuk merangsang penelitian dan pengembangan energi terbarukan.
Landasan Hukum Carbon Tax
Landasan hukum carbon tax telah ditetapkan, sedangkan aturan-aturan turunan sedang disusun. Hukum yang melandasi carbon tax ada 2, yaitu UU 7 / 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres 98/2021 tentang penyelenggaraan Nek
UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan – Pasal 13
Pokok-pokok pengaturannya adalah:
- Pengenaan : dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup
- Arah pengenaan carbon tax : memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan carbon tax yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
- Prinsip carbon tax : prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.
- Tarif carbon tax ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan NEK – Pasal 58
Pokok-pokok pengaturannya adalah :
- Pungutan Atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.
- Selanjutnya, pengaturan atas pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Dengan demikian, Pungutan Atas Karbon dapat berupa pungutan negara yang sudah ada (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar, dan PPBM), maupun pungutan lain yang akan diterapkan (misalnya pengenaan carbon tax).
Tarif Carbon Tax Indonesia
Rencananya, tarif carbon tax akan dikenakan sebesar Rp 75 ribu per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan yang setara. Berdasarkan draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), subjek carbon tax adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Carbon tax harus dibayarkan pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lainnya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Tarif carbon tax ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Karbon dioksida ekuivalen (CO2e) merupakan representasi emisi gas rumah kaca antara lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4). Sedangkan, yang dimaksud dengan setara adalah satuan konversi karbon dioksida ekuivalen (CO2e) antara lain ke satuan massa dan satuan volume. Ketentuan mengenai penetapan dan perubahan tarif carbon tax, penambahan objek pajak yang dikenai carbon tax selain yang sudah tertera diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penerimaan dari carbon tax dapat dialokasikan untuk pengendalian climate change
Tarif Carbon Tax Indonesia-Pro-Kontra
Pemerintah menetapkan rencana tarif carbon tax minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, usulan besaran carbon tax minimal Rp 75 per kg tersebut masih jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan Lembaga Pendanaan Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF):
Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan carbon tax untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 – US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 – Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.
Harga karbon disesuaikan dengan target untuk mencapai emisi nol (net zero emission) Indonesia pada 2050 dan kebutuhan investasi untuk melakukan transformasi sistem energi menuju net zero emission.
Pemateri Kedua : Palti Ferdrico TH Siahaan, SE., Ak., M.Ak., CPA Greenflation
Greenflation adalah istilah yang menggambarkan situasi di mana kebijakan atau tindakan untuk mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi, seperti pengurangan emisi karbon atau perlindungan habitat alami, berdampak pada kenaikan biaya bagi konsumen dan produsen. Ini dapat terjadi karena beberapa alasan :
1. Upaya untuk mengurangi emisi karbon atau limbah beracun sering kali memerlukan investasi dalam teknologi ramah lingkungan yang lebih mahal. Misalnya, penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin umumnya memerlukan investasi modal yang lebih besar daripada bahan bakar fosil konvensional. Akibatnya, biaya produksi bisa naik, yang kemudian dapat ditransfer ke harga jual produk akhir.
2. Penerapan peraturan lingkungan yang lebih ketat dapat mendorong produsen untuk mematuhi standar baru yang lebih mahal, seperti penggunaan teknologi kontrol polusi atau pengelolaan limbah yang lebih canggih. Biaya tambahan ini kemudian dapat tercermin dalam harga produk yang dijual kepada konsumen.
3. Selain itu, ketika pemerintah menerapkan pajak karbon atau sistem perdagangan emisi, biaya produksi untuk perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi juga dapat meningkat, yang kemudian dapat mengarah pada kenaikan harga produk.
Dampak greenflation tidak hanya dirasakan oleh konsumen melalui kenaikan harga barang dan jasa, tetapi juga oleh produsen dalam bentuk biaya produksi yang lebih tinggi. Ini dapat menghasilkan ketidaksetaraan ekonomi di mana kelompok yang lebih mampu secara finansial mungkin dapat menanggung kenaikan harga ini lebih baik daripada kelompok yang kurang mampu.
Namun demikian, penting untuk diingat bahwa meskipun ada biaya awal yang terlibat dalam bertransisi ke ekonomi yang lebih hijau, manfaat jangka panjangnya bisa sangat besar. Ini termasuk pengurangan risiko perubahan iklim, meningkatkan kesehatan lingkungan, dan menciptakan lapangan kerja baru dalam sektor energi terbarukan dan teknologi bersih. Sehingga, sementara greenflation dapat menjadi tantangan singkat, investasi dalam keberlanjutan lingkungan dapat membawa manfaat jangka panjang yang signifikan bagi masyarakat dan planet kita.
Untuk menangani greenflation, ada beberapa langkah yang dapat diambil yaitu : 1. Inovasi Teknologi
Mendorong penelitian dan pengembangan teknologi hijau yang lebih efisien dan terjangkau dapat membantu mengurangi biaya produksi barang dan jasa ramah lingkungan.
2. Kebijakan Fiskal dan Subsidi
Pemerintah dapat memberlakukan kebijakan fiskal seperti insentif pajak atau subsidi untuk industri yang mengurangi dampak lingkungan mereka. Hal ini dapat membantu menutupi biaya tambahan yang terkait dengan investasi dalam teknologi hijau.
3. Peraturan yang Terukur
Memastikan bahwa peraturan lingkungan yang diterapkan seimbang dan sesuai dengan tujuan perlindungan lingkungan, sambil mempertimbangkan dampak ekonomi yang ada.
4. Pendidikan dan Kesadaran
Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan dan mengubah perilaku konsumen dapat membantu mengurangi permintaan atas barang dan jasa yang berdampak tinggi terhadap lingkungan.
5. Kemitraan Publik-Swasta
Kerjasama antara sektor publik dan swasta dalam mengembangkan solusi yang berkelanjutan dapat mengurangi beban finansial yang diperlukan untuk menghadapi greenflation.
6. Sumber Daya yang Efisien
Mendorong penggunaan sumber daya yang lebih efisien dan pengelolaan limbah yang lebih baik dapat membantu mengurangi biaya produksi dan konsumsi.
7. Investasi dalam Infrastruktur Hijau
Pemerintah dapat mengalokasikan investasi dalam infrastruktur yang mendukung transportasi publik, energi terbarukan, dan teknologi bersih lainnya, yang pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya yang berdampak tinggi terhadap lingkungan.
Kombinasi dari langkah-langkah ini dapat membantu mengurangi dampak greenflation sambil mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.