Kembali

Neoliberalisme Perguruan Tinggi : Terperangkap Dehumanisasi Pendidikan

TERPERANGKAP DEHUMANISASI PENDIDIKAN

Dewasa ini, pendidikan dijadikan sebagai kekuatan besar di peradaban manusia. Pendidikan diakui sebagai suatu kekuatan yang akan menentukan keberhasilan dan produktivitas di kemudian hari. Menurut Robert W. Richey, pendidikan adalah suatu hal yang kompleks, yang tidak hanya tentang guru mengajar siswa yang memposisikan guru sebagai tuhan dan siswa sebagai hamba yang hanya menerima pelajaran. Pendidikan juga bukanlah kegiatan dimana pemikiran dan tindakan yang menghasilkan seseorang menjadi subjek dan orang lain menjadi objek. Tetapi pendidikan adalah kegiatan yang melibatkan banyak orang agar mereka memiliki rasa takdir dan hubungan batin untuk memikirkan serta menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan orang banyak. Pendidikan yang berlangsung di sekolah, kini tengah mempraktikkan bentuk-bentuk ketidakadilan dengan membeda-bedakan status sosial. Model pembelajaran yang dirancang dalam kurikulum sekolah, menjadi sarana indoktrinasi oleh elite tertentu dan memanipulasi pendidikan sesuai dengan kepentingannya.

Sekolah yang memihak sistem kapitalis, mengakibatkan terenggutnya hak-hak serta akses kelompok miskin dalam menempuh pendidikan. Berdasarkan pada riset yang dilakukan oleh Ustama (2009), penyebab utama seorang anak tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena faktor finansial dan kesulitan dalam hal ekonomi. Riset dari Delvi (2015), menemukan bahwa masyarakat yang berstatus sosial menengah ke bawah memiliki kendala dalam menyekolahkan anaknya, terutama terkait dengan tingginya biaya dalam membeli perlengkapan sekolah. Banyak anak dari kelas sosial menengah kebawah yang tidak mendapatkan akses sebagaimana yang didapatkan anak-anak dari kalangan atas. Kebutuhan hidup memaksanya mengakses pendidikan yang lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari kelas atas, yang dalam hal ini berati tambahan pelajaran di luar sekolah (bimbel) dan akses pendukung pendidikan lainnya.

 

Pendidikan kapitalis diorientasikan pada perolehan prestasi, yang semata hanya untuk melanggengkan citra baik, nyatanya membuka ruang terlahirnya praktik-praktik dehumanisasi pendidikan dan ketidakadilan yang menyiksa siswa. Pihak sekolah secara turun menurun melestarikan berbagai model ketidakadilan dan pendidikan yang tidak sehat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa adanya bentuk-bentuk ketidakadilan dalam pendidikan terutama bagi kaum tertindas. Keterlibatan ekonomi dalam pendidikan menjadi daya tarik yang membutakan, membenamkan, serta menghilangkan esensi yang sesungguhnya dari terselenggaranya pendidikan. Sekolah bertindak tidak netral dengan memonopoli ekonomi dan individu, hingga timbul kesadaran magis yang menganggap bahwa, pendidikan hanya diperuntukkan oleh kaum borjuis. Ketidaknetralan sekolah sebagai institusi pendidikan menjadi terkesan kaku, rumit, mahal dan dipercayakan untuk kelompok sosial atas. Sehingga, kaum tertindas masih berjibaku dalam kenyataan yang mengharuskannya berpasrah menerima takdir. Pendidikan yang baik tidaklah semata memandang nilai akademis sebagai patokan. Sistem Pendidikan harus terus berupaya mengembangkan kultur pendidikan yang sehat. Sehat dalam arti tidak memandang nilai akademis sebagai pengukur tingkat kecerdasan siswa. Pendidikan yang sehat akan mengedepankan peningkatna kualitas siswa sesuai dengan potensi yang di milikinya. Apabila pendidikan hanya sebatas memandang nilai akademik, pendidikan hanya akan menjadi proses penundukan siswa hingga melahirkan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya.