Kembali

Nalar Kritis Pendidikan

“Kualitas pemikiran di masa depan ditentukan oleh kualitas pendidikan saat ini”.  Jalannya proses belajar-mengajar pada tahap pendidikan formal membentuk landasan bagi arah yang akan diambil oleh generasi mendatang. Dr. M. Arfan Mu’ammar menyoroti permasalahan penting dalam bidang pendidikan yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.

Karya Dr. M. Arfan Mu'ammar dalam buku "Nalar-Kritis Pendidikan" memberikan wawasan yang berharga tentang cara mengatasi tantangan pendidikan di Indonesia. Meningkatnya perilaku anarkis yang berhubungan dengan moral dan etika di kalangan siswa, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, mencerminkan kemerosotan dalam pemahaman moral-etis, literasi, dan pemikiran ilmiah di masyarakat. Keadaan pendidikan kita tampaknya bertentangan. Meskipun secara konseptual tujuan pendidikan sangat mulia, namun dalam praktiknya terdapat kesenjangan yang semakin besar antara idealisme pendidikan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Isi buku ini terbagi menjadi empat bagian yang tersusun dengan rapi. Pertama, penulis membahas pembelajaran secara teoritis dengan mendalam. Dia menyelidiki teori-teori seperti behaviorisme, kognitif, humanistik, dan konstruktivisme dan sibernetik, serta memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengevaluasi dan membandingkan efektivitas masing-masing teori.

Selanjutnya, bagian kedua buku ini mengajak pembaca untuk memperhatikan berbagai permasalahan pendidikan kontemporer yang signifikan. Antara persoalan yang menarik perhatian saya secara pribadi ialah “Mengeringnya Nalar-Literasi dan Menyuburnya Industri Hoax”. Setidaknya ada tiga hal yang bisa memunculkan dan memelihara minat baca. Pertama, menulislah maka Anda akan membaca. Kedua, belilah buku maka Anda akan membaca. Dan ketiga, bertemanlah dengan para readingholic maka Anda akan membaca. 

Seringkali ditemukan, bahwa warnet saat ini tidak lagi dipenuhi oleh para mahasiswa yng sedang menyelesaikan tugas akhir, namun tidak jarang ditemui anak2 sekolah menggunakan jasa warnet. Mereka berkompetisi dengan teman sebaya dalam game online. Ironisnya, mereka masih menggunakan seragam sekolah, bahkan tidak jarang ditemukan pada jam-jam aktif sekolah.

Situs-situs yg tidak semestinya diakses oleh anak dibawah umur dapat diakses secara bebas oleh anak-anak, baik lewat gadget maupun lewat warnet. Disamping mereka bermain game online, contolling orng tua dan guru pun menjadi semakin terbatas karena para orang tua dan guru masih jauh di bawah anaknya dalam hal penguasaan internat. Sehingga pembatasan akses melalui pemberian password dan kepemilikan gadget menjadi tidak efektif.

Pendidikan sebagai sebuah sistem merupakan satu kesatuan yang utuh, dengan bagian-bagiannya yang berinteraksi satu sama lain yang tak dapat dipisahkan. Peran orang tua, guru, dan masyarakat menjadi sebuah satu kesatuan holistik dalam mendidik anak. Tripusat pendidikan tersebut berebut saling mempengaruhi anak. Seringkali orang tua lebih dominan dibandingkan guru, tapi terkadang guru menjadi lebih berpengaruh dari orang tua. Namun, bisa jadi masyarakat dan lingkungan lebih berpengaruh dari guru dan orangtua terhadap pembentukan moralitas anak.

Kesimpulannya, saya sangat merekomendasikan buku ini kepada para pendidik dan siswa, khususnya. Dengan menggambarkan makna "pendidikan" yang tercermin dalam UUD 1945, seharusnya kita memperhatikan dan memahami maknanya dengan mendalam. Pendidikan tidak hanya tentang mencetak siswa dengan nilai 'A' di ujian, tetapi juga tentang menciptakan manusia yang berbudaya, yang selalu menjadikan lingkungan sosial mereka sebagai fokus dalam menerapkan ilmu yang telah dipelajari.