Kembali

1984

Buku 1984 menjadi karya yang masih seringkali kita jumpai sebagai rekomendasi bacaan yang akan ditawarkan oleh kakak-kakak aktivis atau organisatoris kampus kepada mahasiswa-mahasiswi baru. Buku-bukunya, setidaknya sampai 2018 lalu menurut salah seorang junior di organisasi yang pernah ikut pertukaran pelajar ke US, masih menjadi “bacaan wajib” bagi anak sekolahan sana.

Karya-karya termasyhur Orwell lahir dari kritik dia terhadap totalitarianisme, khususnya dalam magnum opusnya yang berjudul 1984. Secara singkat, buku ini menceritakan kisah hidup sehari-hari seorang pria bernama Winston Smith, seorang anggota partai INGSOC (Gabungan kata Inggris dan Sosialisme dalam bahasa newspeak, bahasa ciptaan Orwell) yang berkuasa di negara Oceania, yang dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi bernama Bung Besar. Terasa biasa sebenarnya, kalau tidak dengan kenyataan bahwa negeri Oceania berlatar distopia dengan sistem pemerintahan yang sangat, teramat sangat totaliter malah, yang membuat novel ini begitu menyeramkan.

Bukan, bukan karena buku ini dipenuhi pertarungan sengit nan brutal yang mengirimkan gambar-gambar potongan tubuh ke dalam imajinasi pembacanya yang membuatnya menyeramkan. Bukan pula karena buku ini menghadirkan kengerian hantu-hantu yang teramat sangat menakutkan sehingga penampakannya akan terus terbayang. Bukan itu. Buku ini menghadirkan teror dalam bentuk yang lain. Buku ini menyajikan gambaran tentang masa depan sebuah negara dengan kehidupan masyarakat di dalam sistem totalitarian mutlak yang kengeriannya, hadir dinana setiap gerak warga dipelajari, setiap kata yang terucap disadap, dan setiap pemikiran dikendalikan.

Buku ini akan mengantarkan kita melihat bagaimana Winston Smith menjalani hari-harinya dalam pengawasan teleskrin, sebuah alat penyadap audio-visual yang tidak dapat dimatikan dan berada di mana-mana, bahkan di ruang-ruang privat untuk mengawasi semua pembicaraan, emosi, ekspresi, dan tekanan mental masyarakat Oceania. Seperti tidak cukup dengan kehadiran teleskrin, hadir juga satuan khusus bernama polisi pikiran (Thinkpol dalam bahasa newspeak) yang selalu siap mengintai dan mengawasi mereka yang memiliki pemikiran pribadi atau pemikiran yang tidak sejalan dengan pandangan partai. Dengan menggunakan psikologi kriminal dan media pengawasan (informan, teleskrin, kamera, dan mikrofon), para polisi pikiran akan senantiasa memantau para masyarakat yang melakukan kejahatan pikiran yang mengancam status quo partai atau kepemimpinan Bung Besar.

Buku ini menghadirkan kengerian dan rasa was-was, seperti yang dialami Winston, yang dalam pikirannya hadir keraguan akan kebenaran mengenai banyak hal, khususnya mengenai partai, Bung Besar, dan realitas kehidupan Oceania yang sekiranya cukup untuk menyeretnya menjadi kriminal dalam pandangan polisi pikiran. Kita diantarkan dalam dilema-dilema yang Winston rasakan sembari harus berusaha keras menjaga ekspresi dan pikiran berbahaya yang ia miliki dalam kesehariannya bekerja sebagai karyawan di kementerian kebenaran, sebuah kementerian yang bertugas mengurusi berita,hiburan, pendidikan dan seni, atau lebih tepatnya, sebuah kementerian yang bertugas menyebarkan propaganda melalui penanaman visi-misi dan pencapaian partai kepada masyarakat dengan memutarbalikkan dan memanipulasi fakta-fakta demi kepentingan partai.

Kita akan dibuat tercengang sekaligus ngeri melihat bagaimana kontrol masyarakat bekerja seperti yang digambarkan Orwell dalam 1984 melalui bahasa newspeak. Orwell sendiri menciptakan newspeak untuk menunjukkan peran bahasa ketika masyarakat diambil alih oleh kediktatoran. Salah satu tujuan utama newspeak adalah mempersempit jangkauan pemikiran masyarakat umum dan mengurangi pemikiran kompleks masyarakat dengan membatasi kosa kata.

Newspeak mendorong penggunanya untuk tidak berpikir terlalu banyak sehingga membuat mereka rentan terhadap penindas. Newspeak ditandai dengan penggunaan teknik linguistik eufimisme dan kontradiksi. Misalnya, menggantikan kalimat yang terkesan kasar atau tidak sopan menjadi kata-kata yang lebih menyenangkan agar mereduksi pandangan negatif masyarakat. Permisalan dari bentuk tersebut, dapat terlihat dalam kalimat “perusahaan memecat semua orang” yang digantikan dengan kalimat lebih menyenangkan, seperti “perusahaan melakukan perampingan”. Contoh lain terlihat dalam penggunaan bahasa yang kontradiktif dalam newspeak, seperti dalam jargon partai INGSOC yang berbunyi “Perang adalah Damai, Kebebasan adalah Perbudakan, dan Kebodohan adalah Kekuatan” yang akan selalu kalian temukan dalam lembar-lembar buku 1984 ini. Efek dari penggunaan model bahasa newspeak dan manipulasi sejarah serta data yang dilakukan kementerian kebenaran membuat imajinasi, ingatan, dan daya kritis masyarakat Oceania menjadi sangat memprihatinkan. Sehingga, apapun yang dikatakan partai menjadi kebenaran mutlak kecuali terhadap beberapa orang termasuk Winston yang oleh karenanya, polisi pikiran selalu sigap mengawasi.

Inilah mengapa 1984 menjadi sangat mengerikan sekaligus sulit untuk berhenti membacanya. Orwell berhasil menanamkan dengan kuat bahwa kekuasaan totaliter tidak sekedar berwajahkan kekerasan bersenjata. Kalau sekedar tindakan kekejaman fisik yang dilakukan polisi pikiran, mengapa pemerintah Oceania sampai repot-repot menyusun kamus newspeak di kementerian kebenaran? Hal tersebut karena bahasa mampu menanamkan kebenaran absolut versi penguasa, untuk memelintir dan menciptakan ‘fakta alternatif’, untuk “merayu” loyalitas dan kesetiaan massanya, dan bahkan untuk menyingkirkan lawan. Orwell melalui bukunya dengan jelas menekankan bahwa bahasa menjadi unsur penting dalam upaya melanggengkan kekuasaan.