Kembali

Sekolah Itu Candu

Pendidikan minimal dua belas tahun. Akan menjadi waktu yang lama dan membosankan jika diisi dengan duduk, mencatat, mendengar guru berceramah di kelas dan bermain-main di kelas. Sekolah bisa mengubah seseorang menjadi seorang pejabat, tapi juga bisa mengubahnya menjadi penjahat. Masih pantaskah sekolah mengakui dirinya sebagai satu-satunya agen pendidikan yang mencerdaskan dan memanusiakan seseorang?

Jika berdasarkan sejarah asal katanya, “school” atau sekolah yang berasal dari bahasa Yunani “skhole” yang artinya “free time” atauwaktu senggang. Secara singkat dapat dikatakan sebagai “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.”

Sekolah sangat penting sehingga Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia segera mengeluarkan utang baru untuk memastikan anak-anak Indonesia tetap bersekolah di masa krisis seperti saat ini. Agar uang itu sampai, jalur birokrasi ditiadakan, dan APBN untuk pendidikan sudah beberapa tahun menjadi primadona. Tapi jangan tanya bocorannya. Tengok saja laporan tahunan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan masih menjadi salah satu lembaga negara yang paling korup, dengan banyak manajemen yang buruk dan sangat kompleks.

Sistem kurikulum dan sistem manajemen sekolah  juga tidak kalah seru karena kebijakan yang hadir mengalami pasang surut hampir setiap pergantian menteri. Bukankah "bisnis buku sekolah" ('buku INPRES') adalah bisnis yang sangat menguntungkan? Bahkan seragam sekolah anak sekolah dasar hampir menjadi sasaran bisnis ‘kolusi-korupsi-nepotisme’ (KKN). Untungnya, media bereaksi sangat keras sehingga proyek tersebut layu sebelum sempat berkembang. Singkatnya, pendidikan telah menjadi komoditas.

Kita mengetahui bahwa segala aspek yang ada di dalam lingkungan pendidikan telah diseragamkan oleh pembuat kebijakan. Mereka yang ingin bersekolah diwajibkan memiliki baju seragam yang tidak seluruh masyarakat dapat memenuhinya, menjalankan kurikulum yang dipaksakan untuk disamakan dengan keinginan pembuat kebijakan, serta berbagai macam tuntutan yang harus dan memang dipaksakan dipenuhi oleh masyarakat di negeri ini.

Seharusnya sekolah adalah waktu senggang yang diisi dengan kegiatan belajar dengan senang hati, sambil tetap melakukan pekerjaan membantu di rumah, menghabiskan kehidupan sosialnya. Tapi realitasnya saat ini, anak-anak sekolah malah ditutup telinganya dan matanya untuk melihat secara luas. Mereka hanya dituntut menatap lurus pada sistem yang hanya berujung ijazah dan kemegahan.

Sebenarnya sekolah bukan satu-satunya alat untuk menuju apa yang kita mau. Sekolah hanya bisa sedikit membantu tentang apa yang kita inginkan. Tetapi masyarakat terlalu heroik seakan sekolah adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Jadi, sekolah juga lah yang benar dan kuasa, tak pernah salah dan tak kalah. Adapun yang salah (dan akan selalu dipersalahkan) adalah mereka yang justru gagal menjalaninya, yang ditolak olehnya: mereka lah senyata-nyatanya orang-orang yang kalah.